Aku ingin menjerit. Tapi semua serasa percuma. Sekeras apapun aku memohon dan meminta, mereka tetap cuek juga.
•••Memintamu dalam Istighfar•••
Sepanjang jalan pulang, Dian sibuk memikirkan perihal Arkan dan Dinda. Memang dia tadi sudah membuat Dinda salah paham, tapi tetap saja dia ragu bagaimana jika mereka kembali baik seperti semula.
Begitu mobilnya berhenti di halaman rumah, Dian menatap sejenak jam tangannya sebelum turun. Pukul empat sore. Kakinya melangkah menuju pintu besar berwarna putih, namun bunyi klakson yang yang tidak asing lagi membuat badannya berbalik.
Tubuhnya bergeming kaku melihat dua mobil masuk ke halaman dan berhenti sejajar. Dari Mobil BMW berwarna putih keluar wanita
berusia 35 tahun dengan rambut disanggul, bermata bulat persis seperti dirinya dengan wajah yang masih awet muda. Sedang dari mobil disebelahnya yang berwarna hitam seorang pria dengan setelan jas lengkapnya juga keluar dan melangkah menujunya dengan langkah tegap berkharisma.Keduanya berjalan beriringan, yang satu masih terlihat cantik dan yang satu lagi masih terlihat tampan walaupun usianya berbeda 2 tahun. Jika saja semuanya baik-baik saja dan tidak ada drama di rumah ini, dia akan bangga memiliki kedua orang tuanya. Menatapnya dengan tersenyum. Namun kini, matanya sudah panas dan hatinya tiba-tiba sesak begitu mereka selalu berjalan berjauhan dengan wajah sama-sama dingin. Seolah memang ada jarak besar diantaranya yang tidak bisa ditepis. Jangankan jarak, melirik saja salahnya satunya tidak.
"Masuk." Suara Pria bersetelan jas hitam tadi yang merupakan papanya melangkah melewatinya tanpa melirik sedikitpun. Diikuti mamanya yang menatapnya sekilas, masih tanpa ekspresi.
"Sekarang."
Hal yang dilakukannya sebelum ikut masuk adalah menghela nafas berat dengan senyum getir. Kedua tangannya terkepal. Dian masuk ke ruang tamu, menatap keduanya yang sudah duduk. Papanya di sofa tunggal dan mamanya di sofa panjang.
"Ngapain kalian ke sini?" pertanyaan itu langsung ia ajukan bergitu duduk dengan ogah di sofa sebrang Zena-mamanya -setelah dipaksa.
"Jangan lupa ini rumah papa," ucapan Ravo- papanya- membuatnya mendengus.
"Kita gak akan lama-lama." Gantian Zena bicara seraya membuka tas mahalnya dan mengeluarkan sebuah kertas berlipat dari sana.
"Tahu kok. Anda mau ke rumah selingkuhan 'kan?" ucapnya menohok membuat Zena mendongak dengan wajah marah. Tidak mempedulikan tatapan itu ia beralih pada Revo. "Dan Anda mau cepat pulang tempat wanita simpanan Anda. Saya benar bukan? Sudah tahu prioritas kalian siapa."
Satu sudut bibirnya tertarik melihat tangan papanya yang mengepal di atas paha. Sedang tatapannya sama dengan Zena. Marah dan tajam.
"Apa? Saya benar 'kan?" Tanpa takut, ia menatap balik keduanya menantang.
"Jadi anak sopan sedikit. Jangan kurang ajar!" bentak Revo. Pria itu kini sudah berdiri dari duduknya, menunjuknya dengan murka.
"Sayangnya bukankah saya tidak pernah diajarkan hal demikian?"
Revo masih memperlihatkan kemarahannya sedang Zena menatapnya kembali tenang.
"Sudahlah Dian. Tidak usah seperti anak kecil." Zena memilih tidak peduli pada perkataan putrinya yang jelas menyindirnya. Wanita itu kini meletakkan kertas yang menjadi tujuannya ke sini. Membuat Dian mengepalkan tangannya dengan nafas tidak teratur.
"Persidangan kami minggu depan." Ditatapnya lama kertas ini dengan mata nanar, sekeras mungkin Dian mencoba menahan diri untuk tidak menangis sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu dalam Istighfar ✓
SpiritualBagaimana jika yang jahat, nakal, suka clubbing jadi tokoh utama? Ini tentang Arasya Faradian Rayen, gadis 17 tahun dengan keluarga berantakan. Ia punya sahabat, sama-sama usil dan suka clubbing. Dian itu dingin, tapi dia mencintai sosok sempurna be...