The Path Of DESTINY | 26. Twenty-Four Hours Together

155 7 0
                                    

Cinta yang tulus itu memang seharusnya di perjuangkan, namun jika cinta di salah artikan sebagai obsesi gila, aku mundur paling jauh agar tidak pernah merasakan rasanya dicintai oleh dirimu.

~ Nameera Gumilo Adhikusuma

••

     Zayi memandang penuh permusuhan pada Alexander. "Apa ini yang di sebut dengan tidak ada masalah?" ucapnya setelah empat puluh menit kemudian ketika Meera jatuh pingsan. Alexander menatap kaku pada atasannya, "Saya mohon maaf, Pak. Lift rusak serta lampunya itu benar-benar bukan atas kendali saya," Zayi memandang Meera lagi yang masih setia memejamkan mata di atas ranjang kamar pribadinya. "Kau bekerja di sini sebagai pemimpin tertinggi. Apa dengan semua yang saat ini kau miliki tidak cukup hanya untuk memeriksa lift sebelum saya datang?"

     Alexander memandang kaget pada pemegang kendali penuh perusahaan Drazanio. Dia berbicara sepanjang itu dalam keadaan bukan di atas podium? Sungguh mengejutkan.

     "Apakah kau bisu?"

     Lagi, Alexander masih belum bisa mencerna perubahan Zayi. Atasannya itu mengapa mau bersusah payah berbicara atau bisa di bilang m-e-n-c-e-r-a-m-a-h-i-n-y-a?

     "Sekarang kau t–"

     "Shhh..."

     Erangan yang berasal dari sekitarnya membungkam Zayi untuk melanjutkan ucapan sarkasnya pada Alexander. Zayi segera menghampiri Meera dan mengusap puncak kepala gadis itu yang sedang dia pegangi. "Baik-baik saja?" Meera mengangguk pelan. "Cuma pusing sedikit," tambahnya. Seperti bergerak dengan sendirinya, tangan Zayi mulai memijit pelan pelipis Meera. "Better?" Meera mengangguk lagi. "Maka-"

     Ucapannya terhenti tatkala sekilas melihat ada seseorang yang tidak Meera kenal berada satu ruangan bersamanya, juga Zayi.

     Alexander membalas tatapan Meera dengan sama terkejutnya, "Kau boleh keluar." Zayi menginterupsi keadaan. "Kalau begitu saya permisi, Pak." Setelahnya pintu kamar pribadi Zayi di lantai teratas gedung tertutup, menyisakan dirinya dengan Meera.

     Zayi masih melanjutkan pijatannya pada pelipis Meera. "U-udah nggak sakit kok, Kak." Lalu Zayi berhenti dan menatap Meera, "Kenapa?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit tanda tak mengerti. "Maksudnya?" tukas Meera membalas tatapan dalam Zayi. "Kenapa pingsan?" Zayi berujar lagi yang hampir mampu membuat Meera ingin tertawa sekarang. "Kakak seriusan tanya aku kenapa pingsan?" Zayi mengangguk singkat. "Astaga!" Meera menggeleng-gelengkan kepala, sungguh tidak percaya.

     Zayi ini pintar, kan? Perusahannya bergerak di berbagai macam bidang industri yang pastinya membutuhkan otak cemerlang untuk membangun itu semua. Tapi mengapa kali ini dia bertanya hal yang semestinya tidak perlu di pertanyakan lagi?

     Menyentuh kening pria di sampingnya secara tiba-tiba, Meera tidak merasakan suhu yang tinggi di telapak tangannya, "Nggak demam, kok." Zayi memandang penuh tanya pada gadisnya, "Ada masalah?" Meera mengangguk. "Apa?" Meera berdecak gemas, "Masa orang pingsan pake di tanya kenapa, sih? Emangnya dengan ruangan yang minim oksigen nggak bisa kasih jawaban buat pertanyaan Kakak?"

     Zayi menatap tajam Meera yang memandangnya geli. "Oke, sorry. Aku bercanda, jangan di bawa serius," ujar Meera cepat sembari tersenyum mengangkat kedua alis untuk Zayi. Berdeham pelan, lelaki itu mencoba mengalihkan suasana. "Kau bisa pulang, nanti di antar Liam." Zayi segera beranjak dari kasur, "Loh? Kok pulang?" Meera berucap seperti anak kecil yang membuat Zayi memejamkan mata.

     Mengapa sekarang susah sekali untuk memberi respon dingin pada gadisnya?

     "Kenapa?"

The Path Of DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang