Aku harap kegugupan ini dapat berakhir segera.
~ Nameera Gumilo Adhikusma
•••
Meera menarik koper berwarna putih susu miliknya. "Hati-hati ya sayang," ucap Sang Bunda pada Meera. Gadis itu mengangguk yakin, "Iya, Bun. Ayah sama Bunda juga nanti hati-hati ya berangkatnya." Meera menatap penuh kasih pada Fanny, "Aku berangkat, Bun. Titip salam sama Ayah." Meera berucap sembari memeluk Fanny. Wanita berusia empat puluh lima itu mengangguk-angguk.
"Bye, love you!" Meera melambaikan tangan dari dalam mobil, kaca jendela ia buka terlebih dahulu. "Dah, sayang! Safe flight!" lalu mobil yang membawa Meera untuk ke bandara sudah menjauhi pelataran Mansion Adhikusuma.
Zan, gue udah otw ya.
Meera mematikan ponsel selepas mengirim pesan pada Zani. Dia merebahkan kepala pada sandaran kursi kemudian menutup mata untuk beberapa saat. Ya, ini sudah empat hari setelah dirinya melaksanakan ulangan semester satu hari terakhir. Saat Meera memberitahu kepada orang tuanya bahwa ia di ajak untuk liburan bersama dengan Zani, awalnya Sang Ayah menolak. Karena ini adalah liburan keluarga Zani. Katanya, takut merepotkan. Tapi berkat Sang Bunda, Ayahnya luluh.
"Huh!" Meera menghela napas pelan melihat keromantisan orang tuanya bahkan setelah hampir dua puluh tahun bersama. Mudah-mudahan aja gue juga bisa kayak mereka, ucap Meera membatin seraya tersenyum.
"Non, sudah sampai," ujar Pak Atmo setelah dua puluh menit kemudian. Meera mengangguk lalu keluar dari dalam mobil. "Pak Atmo bantu keluarin barang ya," Meera mengangguk lagi. "Makasih banyak, Pak." Balasnya seraya tersenyum simpul. "Sama-sama."
Ketika sudah selesai, "Kalau gitu Meera masuk duluan ya. Hati-hati di jalan, Pak." Ucap Meera yang setelahnya masuk menuju bandara selepas mendapat balasan anggukan dari Sang sopir.
"Meer!" seru sebuah suara dari arah kanannya.
Meera menoleh dan menemukan Zani. "Akhirnya, gue daritadi cari lo nggak ketemu-ketemu," Meera mengembangkan senyum. "Handphone gue lowbatt, lupa cas." Zani menggetuk pelan jidat Meera, "Awsssh, sakit Zan!" balasnya tak terima. "Biarin. Kebiasaan banget lo!" lalu Zani berjalan mendahului Meera.
"Pelan-pelan dong! Ini berat tau kopernya," tegas Meera kepada Zani. Namun temannya itu hanya melengos pergi, "Lebay!" katanya dengan suara pelan. Meera sayup-sayup mendengarnya. "Apa, Zan? Nggak kedengeran!" balas Meera sedikit meninggikan suaranya. Zani berdecak pelan, enggan untuk membalas pertanyaan temannya satu itu.
"Hai sayang," Zavira menghampiri Meera yang terlihat ada di belakang Putri bungsunya. Meera menyalami Ibu sahabatnya terlebih dahulu, "Hai tante," balasnya. Zavira tersenyum khas, "Yaudah ayo!" serunya senang sembari mengapit lengan Meera. Zani memutar bola matanya seraya bersedekap. Lihat saja, Mummanya jika sudah bersama Meera akan melupakan dia, seperti transparan. Kayak anak tiri gue.
Meera membalas senyuman Zavira, "Kak Zavi udah lama aku nggak liat tan," ucapnya tiba-tiba. "Zavi memang belum pulang. Tapi nanti kita di sana langsung ketemu kok." Meera mengernyitkan dahi tanda tak mengerti, "Loh? Emangnya kita mau ke mana?" Zavira memandang heran gadis di depannya. "Kamu nggak tau?"
Spontan Meera menggeleng cepat.
"Zani nggak kasih tau?" Meera menggeleng lagi. Zavira berdecak pelan, "Zani, Zani. Kita mau ke Italy, sekalian hadir di acara anniversary pernikahan teman Tante," Meera membolakan mata. "I-it-Italy? Beneran?" Zavira mengangguk. "Memangnya kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Path Of DESTINY
Romance"Ketika jalan takdir sudah memutuskanmu untukku, alasan logis apa yang masih bisa kau argumentasikan untuk menolaknya?" *** Nameera Gumilo Adhikusuma tidak pernah merasakan rasanya cinta yang begitu mendalam. Rasa cinta yang menggebu tapi lain hal...