Entah berapa lama lagi waktu yang kubutuhkan untuk membuatmu memandangku. Masih kah ada nama yang susah untuk kau lupakan, hingga sampai kini kau tidak mengerti apa maksudku mendekatimu?
~ Anantio Mahacaraka
•••
Suasana riuh kantin tidak menghalangi empat sejoli ini yang tengah menyantap bakso pada waktu jam istirahat berlangsung. Siapa lagi kalau bukan si manja Zani, si cerewet Lofa, si judes Ara, dan si plin-plan Meera.
"Bakso Mang Dudung emang gak ada duanya!" seru Lofa kepada sahabat-sahabatnya saat dirinya lah orang pertama yang sudah menghabiskan semangkuk bakso.
Kemudian disusul Zani. Walaupun dia adalah salah satu anak trillionaire di Indonesia, namun perilaku dan sifat kemewahannya tidak akan ia bawa pada saat di sekolah, kecuali di luar rumah. "Bener banget!"
Zani dan Lofa bertos ria.
Orang ketiga yang menghabiskan bakso adalah Ara. "Lelet banget lo Meer makannya," sindir Lofa saat melihat Meera masih memotong-motong satu buah bakso menjadi bagian yang lebih kecil. Meera acuh. Malas membalas sindiran entah itu halus atau kasar yang diberikan si tukang gibah. Sudah kebiasaannya sedari dulu jika makan bakso selalu di potong-potong menjadi bagian yang bisa di katakan paling kecil—agar mudah untuk di makan, jadi tidak salah kan kalau Meera makan lamban?
"Hush! Biarin aja, Lof. Meera kan emang kalo makan harus kayak Putri Solo. Iya nggak, Ra?" ceplos Zani menambahkan ucapan Lofa dengan meminta pendapat Ara. "Hmm," yang hanya di balas gumaman oleh pemilik nama akhir Qaraz itu.
Mengelap bibir menggunakan tisu yang sudah di sediakan di atas meja kantin, "Bagus. Kerjaannya cibirin sahabat sendiri." Ujar Meera dengan sarkas setelah menyelesaikan acara makan baksonya tak lama saat Ara menggumam tadi. "Gue cuma gumam doang ya. Gak bilang iya." Protes Ara. Lofa dan Zani memutar bola mata bersamaan, "Lebay!"
Meera mendelik. "Kalian yang lebay!"
Ara jengah. Bosan sekali jika melihat ketiga temannya tengah berantam cantik. Pasti selalu dirinya lah yang menjadi penengah. "Kayak bocah. Inget umur lo pada!"
Zani dan Lofa mendecih, lain halnya Meera yang malah membuka ponsel lantaran mendengar suara dentingan notifikasi pesan masuk.
Tio? Ada apa ya?
Membuka room chat-nya dengan Tio, lantas Meera melihat. Di sana tertera sebuah kalimat ajakan yang bertujuan untuk Meera menonton pertandingan basket di lapangan outdoor saat ini. Belum sempat dirinya mengetik balasan pesan, namun pesan selanjutnya datang.
Gue mau tanding, nonton ya. Sekalian minta tolong beliin air mineral, thanks Meer.
Okay. Hanya itu balasan Meera pada Tio melalui room chat, selanjutnya ia berdiri dengan maksud untuk menuju salah satu stand kantin yang menjual aneka minuman, termasuk air mineral.
"Eh? Mau kemana lo, Meer?!" pekik Zani saat melihat Meera sudah lumayan jauh jalan menuju salah satu stand kantin. Ara menimpal, "Palingan beli minum lagi kali. Tuh liat. Es teh manisnya udah abis," Zani mengangguk. Kemudian tak lama Zani bosan dan melihat beberapa siswa tengah berlarian menuju lapangan outdoor Galangkasa. Zani yang kepo, lantas mencegat salah satu siswa laki-laki. "Ada apaan di lapangan?" tanyanya tanpa basa-basi. "Lo emang nggak tau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Path Of DESTINY
Romance"Ketika jalan takdir sudah memutuskanmu untukku, alasan logis apa yang masih bisa kau argumentasikan untuk menolaknya?" *** Nameera Gumilo Adhikusuma tidak pernah merasakan rasanya cinta yang begitu mendalam. Rasa cinta yang menggebu tapi lain hal...