The Path Of DESTINY | 30. Feel Different

169 6 0
                                    

Dapatkah aku berharap bahwa kegundahan ini hanyalah angan yang tak akan terjadi?

~ Anantio Mahacaraka

•••

SMA Galangkasa,
Jakarta Indonesia.

     Kembali lagi di tahun ajaran baru. Masuk sekolah. Belajar dan belajar. "Gimana nih liburan kemaren?" tanya Lofa sambil menyikut lengan Meera. Si gadis yang di tanya langsung menengok dan menaruh sendok dalam mangkuk lagi, tadi dia sedang makan. "Ya gitu kayak bias–" ucapan Meera terhenti ketika menyadari ada yang berbeda dari sahabatnya. "Mata lo kenapa?" Meera dengan cepat menangkup kedua pipi Lofa.

     Lofa terlihat sedikit tersentak, "Ah kenapa apaan sih? Mata gue nggak kenapa-kenapa kok," ujarnya yang secepat itu pula mengganti raut wajah. Namun, Meera merasa ada yang janggal dari gadis itu. "Don't lie to me. Gue tahu banget lo, Lof. Lo kenapa? Lagi ada masalah? Mata lo bener-bener sembap. Masa Ara nggak sadar sih?" Meera mengernyit heran.

     "I'm fine, Meer. Lo nggak perlu cemas gitu, serius deh." Ucap Lofa yang kini justru terdengar seperti tanda pemberitahuan bahwa dia sedang tidak apa-apa. Kebalikan dari kalimat yang di ucapkan. Meera membuang napas kasar lalu segera menarik bahu Lofa untuk ia taruh dalam pelukan. "Gue tahu lo bohong sama gue. You don't fine anymore, Lof." Tegas Meera yang membuat Lofa menahan isakkan.

     "Kalo emang mau nangis, ya nangis aja. Keluarin. Jangan di tahan. Nggak ada Zani yang bakal ledekin lo. Nggak ada Ara yang bakal terus-terusan nanya lo kenapa. Just me, Lof."

     Tanpa dapat di cegah, air mata dan juga isakkan pilu Lofa terdengar. Gadis itu menangis dengan sesegukkan. Meera baru pertama kali ini melihat sahabatnya itu berada dalam fase yang sama sekali berbeda dari kepribadian Lofa. Sekarang, dia terlihat rapuh. Lofa sungguh berbeda. Meera tahu bahwa gadis yang sedang ia rengkuh ini sedang mengalami masalah cukup serius. Karena, hampir enam tahun kebersamaan mereka, Meera tidak pernah mendengar Lofa dengan suara tangis pelan namun terkesan menyakitkan.

     "Lo bener. I'm not fine anymore, Meer."

•••

     Ketika ingin memasuki mobil Ara, Meera menoleh ke belakang saat namanya di panggil. "Meer!" Tio, lelaki itu yang memanggilnya. "Kenapa, Ti?" ucapnya sambil menutup kembali pintu mobil Ara. Tio tersenyum khas, "Pulang bareng sama gue, mau?" tawarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Meera menggeleng pias, "Tapi gue udah janjian sama Ara."

     Tio berdecak pelan, "Sshh! Biar gue aja yang izinin ya," tukasnya yang langsung mengetuk kaca mobil merah milik Ara, lalu tak lama kaca tersebut perlahan terbuka. "Ra, Meera pulang bareng sama gue!" ujarnya cepat yang membuat Ara menatap tajam Tio. "No. Dia pulang sama gue." Tio menggulirkan mata, "Kali ini Meera sama gue. Bye, Ra!" setelah mengatakan itu, tanpa aba-aba Tio menarik pergelangan tangan Meera menjauh. Membawanya keluar dari area parkiran sekolah.

     Dengan napas yang memburu, Meera berhenti tepat di depan motor Tio ketika lelaki itu melepaskan tautan tangannya. "Nggak biasa lari ya lo?" kekeh Tio mendapati Meera seperti habis lari marathon. Padahal, jarak dari parkiran sekolah ke warung tempat biasa 'Nongkrong anak SMA' tidak terlalu jauh. Dengan gaya kesal yang justru terlihat menggemaskan di mata cowok itu, Meera berdiri dari posisi bungkuknya dan menepuk keras bahu Tio.

     "Kalo ngomong!"

     Tio tertawa, lucu sekali gadis di depannya ini. "Jujur aja sih," katanya sambil menampilkan wajah meledek yang membuat Meera jengkel. "Tau ah! Mending gue balik aja ke mobil Ara." Ujarnya yang dengan cepat memutar badan, namun Tio secepat itu juga menahan Meera untuk pergi. "Calm down, gue bercanda. Sensian banget hari ini kayaknya," Meera menatap datar Tio lalu mengangguk. "Hmmm,"

The Path Of DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang