The Path Of DESTINY | 06. Sarapan Pagi

269 16 0
                                    

Menurutku, pepatah yang mengatakan 'cinta tak seharusnya memiliki' itu salah, karena pada dasarnya manusia memiliki sisi egois. Pasti, sangat pasti, jika kamu mencintai seseorang, di dalam fikiran dan hatimu menginginkan dia berada di sisimu, bukan untuk merelakan, tetapi untuk bersama, selama mungkin.

~ Nameera Gumilo Adhikusuma

•••

Drazanio's Mansion,
Jakarta, Indonesia. | 07.15 AM |

     Minggu pagi yang cerah ini menunjukkan waktu pukul tujuh lewat lima belas, yang dimana saatnya waktu untuk pergi sarapan.

     Zayi sedang menuruni undakkan tangga menuju meja makan yang sudah terisi oleh keluarganya, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang tadi habis menelepon seseorang di sebrang sana.

     "Pagi sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     "Pagi sayang..," sapa Zavira saat Zayi sudah duduk di meja makan. "Pagi juga, Ma." Balasnya sambil tersenyum singkat.

     Dan semua penghuni yang berada di ruangan ini juga mengucapkan kepada yang lainnya sekedar sapaan di pagi hari. Memang, seorang Farhanzah Gustava Drazanio sangat menjunjung tinggi rasa sopan santun serta kasih sayang terhadap sesama, apalagi di dalam keluarganya.

     Di meja makan minus Zavi, karena putri pertama dari keluarga Drazanio itu sedang ada perjalanan bisnis ke luar negeri. Ya, walaupun baru berumur dua puluh dua tahun, tapi Zavi sangat pandai untuk mengembangkan bisnis butik miliknya.

     "Maa, Kak Zayi udah punya pacar belum sih..," senggah Zani membisikkan pertanyaan random kepada Mummynya yang berada di samping kirinya.

     "Coba tanya aja," balas Zavira seadanya sambil melanjutkan makan.

    "Haish, Mama kalau di tanya gitu banget..," ambek Zani sambil mengerucutkan bibirnya, seraya membalikkan badan ke posisi semula.

    Mereka makan dengan khidmat tanpa hambatan sampai selesai.

     Sebelum Zayi izin beranjak meninggalkan meja makan, sebuah suara menggagalkan rencananya.

     "Zayi...," Zavira berujar dengan sangat lembut.

     "Ya, Ma?" balas Zayi yang tidak jadi mengangkat tubuhnya—lanjut duduk di meja makan.

     "Apa kamu sudah punya kekasih sayang?" Zavira bertanya sambil tersenyum.

     "Emangnya kenapa, Ma?" Zayi membalas bertanya, bukannya menjawab Zavira.

     Zavira diam sebentar sambil memerhatikan ekspresi dari putranya itu yang terlihat hanya datar, "Engga kenapa-kenapa, ma voglio vedere la donna che ami," senggah Zavira menambahkan suatu kalimat menggunakan bahasa yang hanya ia, Zayi dan suaminya ketahui tentunya—bahasa dari negara kelahiran Ayahnya, alias Kakek Zayi dari Zavira.

The Path Of DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang