Walaupun saya diberikan keuntungan, tapi saya lebih tidak menginginkan berbagi terhadap apa yang seharusnya hanya bisa saya lihat. Cause whatever people say, that girl is only mine.
~ Fazayi Kafeel Drazanio
•••
"Nameera."
Tercekat. Pikiran Meera blank seketika saat namanya di panggil oleh seseorang dari belakangnya. Tubuhnya lemas, entah bagaimana bisa seperti itu. K-kenapa ya?
Membuang napas lagi untuk yang kedua kalinya, Meera lantas mencoba untuk membalikkan badan menghadap kepada orang yang memanggil namanya.
Biasa aja kok, Meer! Gausah grogi gitu.
Meera menunduk untuk tidak bertatap mata secara langsung dengan laki-laki dewasa yang saat ini tepat berada di hadapannya. "Kenapa, Kak?" balas gadis pemakai kimono putih itu.
Meera hanya mendengar adanya keheningan yang membalas ucapannya tadi, bukan suara Kakak sahabatnya. Dengan ragu, "Kak?" tanyanya seraya mendongakkan wajah agar dapat melihat raut milik laki-laki itu. Dia kenapa? Kok kayak marah gitu ya?
"Di panggil Mama." Ucap Zayi datar tanpa melepaskan pusat sorot matanya pada bola mata hitam kecoklatan yang saat ini ia kunci rapat. "Tante Zavira?" ulang Meera bertanya pada Zayi. Tidak ada balasan. Hanya itu yang Meera dapatkan.
Sedikit kesal karena tak mendapatkan respon, Meera mencoba mengalihkan pandang dan ingin berlalu dari posisinya saat ini. Membalikkan badan, gadis itu di buat terkejut sesaat karena pinggangnya ditarik oleh dua buah lengan kekar dan keras yang berakhir terbentur oleh sesuatu—dada bidang Zayi.
"Don't move. Stay here a few while."
Degupan jantung Meera berdetak cepat dan keras. Aliran darahnya berdesir hebat hingga mencapai otaknya. Kakinya lemas sampai tidak bisa menopang tubuhnya sendiri, yang bersyukurnya ada sepasang lengan di pinggangnya sebagai penyangga.
Kalimat itu... Barusan di ucapkan Zayi tepat di belakang lehernya yang sedikit di miringkan ke posisi kanan. Dengan suara rendah yang mengalun sampai masuk ke permukaan terdalam telinganya. Meera juga merasa ada sedikit bulu-bulu halus yang hinggap di pipi kanan bagian belakangnya—yang membuat gadis itu merasa geli untuk sesaat.
"Follow me. Don't tell your friends."
"Kenapa, Kak?" tanyanya dan mencoba untuk menolehkan kepala. Sial. Meera lupa jika wajah Zayi saat ini berada tepat di permukaan lehernya yang sangat di sayangkan kini mereka hanya terpaut jarak kurang dari lima senti.
Seperti tadi, Meera tidak mendengar adanya balasan. Langsung saja dia balikkan wajahnya ke arah depan. Tidak ingin berlama-lama beradu pandang dengan manik biru sejernih lautan milik seseorang yang tengah mendekapnya cukup erat.
Sepersekian detik akhirnya saat-saat yang di tunggu Meera terjadi. Zayi merenggangkan pelukan yang dikiranya akan di lepas. "Loh? K-kok nggak di lepas, K-kak?"
"Because I didn't want."
Lagi. Meera mencoba untuk bersabar karena ulah pria dewasa yang sangat di sialkan mampu untuk membuatnya merasa seperti patung. Diam tak berbicara."Aku mau samperin Tante Zav, Kak." Ujar Meera perlahan yang beranggapan jika ucapannya itu dapat menarik atensi Kakak sahabatnya untuk melepaskan kungkungan erat yang melandanya. Berhasil. Meera tersenyum di sela-sela keadaan canggung ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Path Of DESTINY
Romance"Ketika jalan takdir sudah memutuskanmu untukku, alasan logis apa yang masih bisa kau argumentasikan untuk menolaknya?" *** Nameera Gumilo Adhikusuma tidak pernah merasakan rasanya cinta yang begitu mendalam. Rasa cinta yang menggebu tapi lain hal...