Terkadang, pikiran tak selalu selaras dengan hati dan tubuh. Karena pada nyatanya, mereka memiliki ruang tersendiri yang mampu membangun dinding pembatas untuk kepentingan masing-masing.
~ Nameera Gumilo Adhikusuma
•••
"Di beritahukan kepada seluruh murid Senior High School Galangkasa untuk berkumpul dan berbaris yang rapi sesuai kelas di lapangan outdoor bagian utara. Semuanya. Baik itu kelas sepuluh, sebelas, maupun dua belas. Terima kasih,"
"Bu itu di suruh ngapain sih, kan ini waktunya jam istirahat," gerutu salah satu murid kepada gurunya setelah mendengar perintah melalui suara yang terhubung ke tiap-tiap kelas. Sang guru wanita memasang tampang garang dengan melenggangkan kedua tangan di pinggang. "Kamu apa nggak bisa denger, Rian?"
Murid yang di panggil dengan sebutan Rian tersenyum bodoh, "Hehe, ya kalo itu mah saya tau Bu. Tapi kan ini jam istirahat, waktunya ke kantin. Perut saya udah keroncongan ini minta diisi, iya nggak gais?" ujarnya yang langsung mengedarkan pandang ke seluruh kelas, meminta persetujuan. "BETUL BANGET BU!" balas semua murid yang membuat guru wanita berkacamata itu berdecak pelan. "Terserah kalian, yang penting Pak Orland udah kasih tau."
Kesal dengan para muridnya, guru tersebut merapikan alat tulis untuk segera keluar dari dalam kelas. "Bu, Bu, tunggu! Apa Pak Orland mau kasih tau hal penting?" si Ketua kelas bertanya sambil mengangkat sebelah tangan.
"Ibu denger-denger sih katanya Pak Orland mau kenalin ke kita pemilik sekolah ini yang baru. Gantiin yang kemarin,"
"Kok bisa ganti, Bu?"
Memutar bola mata, "Ya Ibu nggak tau Rayana Cylofanti yang berisiknya minta ampun." Lofa menerbitkan senyuman gigi, "Ya maaf Bu, kirain saya Ibu tau gitu."
"Atau karena kalah saham, Bu?" Zani mengutarakan pendapat sambil terlihat berpikir menerawang. Guru wanita itu langsung memandang murid di belakang sana yang bersuara dengan pandangan kagum. "Wah-wah! Kok kamu bisa tau, Zan?"
Zani kaget, "Loh bener, Bu?" guru itu mengangguk. "Iya, tapi kayaknya sih. Ibu cuma denger-denger aja. Tapi hebat loh Zan kamu bisa tau," Zani tersenyum seraya berkata, "Tumben. Makasih loh Bu ini udah di puji." Guru tersebut ingin membalas ucapan Zani tapi terhambat karena ada sebuah ketukan di pintu beserta seruan, "Maaf Bu, mengganggu. Tapi semuanya mohon kumpul di lapangan segera, terima kasih."
Lalu murid pria itu berlalu begitu saja, yang sebelumnya telah menatap satu murid perempuan di belakang sana.
"Yaudah ayo-ayo keluar! Jangan sampai kalian di hukum!"
Setelahnya murid-murid keluar dari dalam kelas dengan decakan malas yang sangat kentara.
"Zan, tebakan lo kok bisa bener?" Lofa bertanya heran pada Zani yang kini mereka sedang menuruni tangga dari lantai tiga. Zani menoleh ke belakang, karena posisinya di depan Sang penanya. "Cuma nebak aja. Soalnya gue sering denger yang kayak gitu dari Papa," Lofa mengangguk. Ya menurutnya sudah pasti kalau sahabatnya itu mengerti tentang semacam itu. Ayahnya pengusaha sukses.
"Meer, gue laper banget tau...," gerutu Zani dan Ara bersamaan saat mereka sudah berdiri di lantai dasar. Butuh waktu sebentar lagi untuk mereka benar-benar sampai di tempat tujuan. "Gue juga kali," menggerutu kesal, Lofa yang ketinggalan berjalan menghampiri ketiganya dengan wajah di tekuk.
"Sabar-sabar. Mungkin nggak lama kali kita di panggil," Meera berucap sambil memandang satu persatu sahabatnya. "Hufttt...." Zani mendesah panjang seraya menghalau sinar matahari dengan telapak tangan kirinya. "Semoga aja ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Path Of DESTINY
Romance"Ketika jalan takdir sudah memutuskanmu untukku, alasan logis apa yang masih bisa kau argumentasikan untuk menolaknya?" *** Nameera Gumilo Adhikusuma tidak pernah merasakan rasanya cinta yang begitu mendalam. Rasa cinta yang menggebu tapi lain hal...