The Path Of DESTINY | 11. Menggenggam

221 13 0
                                    

Bagaimana bisa melupakan jika seseorang yang ingin di lupa terus menerus menghantui jalan pikiranmu?

~ Nameera Gumilo Adhikusuma

•••

     Meera lalu berjalan ke arah tangga dan naik untuk menuju kamarnya Zani. Gelap. Sunyi. Walau sebenarnya ada lampu yang menyala di tengah-tengah ruangan, namun jarak antara ruang tengah dengan tangga lumayan jauh, tapi tidak membuat Meera merasa seperti di rumahnya.

     Ya pasti tentunya beda lah, dasar Meera bodoh!

     Meera mendesah. Ingin segera saja sampai di kamar. Tidur. Lalu masuk ke alam mimpi, dan esok pagi bangun untuk pergi ke sekolah tanpa hambatan.

     Namun, mungkin memang tuhan sedang tidak ingin mengabulkan keinginan Meera yang belum lama ia sampaikan dalam hati. Saat di undakan tangga terakhir lantai dua, ada sebuah telapak tangan yang mengambil lengannya dan menariknya menjauh.

     Meera kaget, takut jika itu adalah makhluk halus, karena memang di lantai dua ini sangat gelap di banding dengan lantai tiga dan satu.

     Tapi, tunggu. Bukannya kalau makhluk halus tidak bisa menyentuh tangan manusia?

     Jika itu benar, lalu siapa gerangan yang menarik lengannya menjauh dari tempat yang tadi ia pijakki?

     Apa mungkin...

     Zayi?

     Hell, Meera jika menghalu sangat tidak-tidak masuk ke otak. Mana mungkin Zayi kan?

     Akan tetapi jikalau bukan Zayi siapa lagi? Setahunya, penghuni yang ada di lantai dua hanya Zayi—dari informasi yang dua jam lalu sahabatnya berikan, Zani. Yang gadis itu sendiri memiliki kamar di lantai tiga, dan orangtua Zani di lantai satu. Sedangkan Kak Zavi seharusnya berada di lantai tiga juga bersama Zani, tetapi karena dia sedang berada di luar negeri jadi ya begitu, kamarnya kosong.

     "Sei mio."

     Meera hafal betul suara berat dengan nada rendah dari pemiliknya. Itu Zayi. Suara yang sangat-sangat merdu di telinganya dan membuat dirinya bisa tiba-tiba saja bergejolak jika mendengarnya. Suara khas laki-laki dewasa yang membuat darahnya berdesir hebat tak karuan.

     Dan saat ini tangannya masih berada di genggaman Zayi, seperti seolah-olah Meera merasa akan kepemilikkan yang besar dari Zayi atas dirinya. Tentang bagaimana Zayi yang merasa jika Meera adalah sepenuhnya milik dia. Seluruhnya. Tidak ada sedikit pun yang terlewatkan.

     Meera tentu paham dari suasana yang terjadi saat ini. Dirinya tidak terlalu bodoh untuk menanggapi perihal Kakak sahabatnya yang sekarang berada tepat di hadapannya. Sebaliknya, hanya dua kata yang tadi di ucapkan oleh Zayi yang tidak di mengerti dengan jelas oleh otaknya.

     Karena tidak ingin terlalu lama diam seperti patung, Meera akhirnya berani membuka suara untuk bertanya, "Kenapa, Kak?"

     Zayi tentu tidak membalas. Melainkan hanya semakin erat menggenggam lengan Meera dan mengunci pergerakan matanya, agar tidak lolos dari netra biru miliknya. "Tutto in te è mio." Tambahnya yang semakin membuat Meera bingung tidak mengerti.

The Path Of DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang