DELAPAN

1.7K 209 3
                                    

Ring light, mikrofon dan beberapa barang lain sudah tersaji di depan meja. Pun dengan segala barang yang akan aku iklankan hari ini melalui kesepakatan dari manajemen dan pihak endorsement. Kebanyakan memberikan barang berupa tas, make up, skin care dan sebagainya. Dan hari ini barang endorse-nya berupa tas dan jam tangan. Masing-masing dari mereka yang mengirim sudah aku kenal, baik dari pekerjaan maupun personal.

Di ruangan ini ada aku, Mayang dan beberapa staf lain. Mereka ada di balik layar ketika aku mengobrol dengan kamera dan panasnya ring light. Kalau kalian mau tahu bagaimana bentuknya, ruangan ini berada di samping kamar tidur, bernuansa pastel agar hasil background yang ditampilkan bisa cukup enak dilihat. Apalagi kalau hanya tampil beberapa detik dalam instastory, asal background dindingnya mendukung maka hasilnya akan cantik. Lagipula yang terpenting kan orang yang mengiklankan, bukan begitu?

"Yang kemarin udah di-upload semua?" Suara Tomi yang menyeruak masuk membuatku harus menunda sebentar kalimatku. Mungkin dia menanyakan tentang barang yang kemarin, apakah sudah selesai atau belum. Karena dalam manajemen akunku, untuk urusan endorsement akan dipegang oleh Nana—staf kantor yang mengurusi bagian endorsement—jadi dia punya akses akunku dan dialah yang mengunggah iklan-iklan ini. "Habis ini istirahat dulu deh," sambung Tomi.

Tidak biasanya Tomi begini. Ini baru lewat waktu isya' lho, tumben dia meminta istirahat. Biasanya kalau belum selesai, jangankan istirahat, barang ambil napas panjang saja dilarang.

"Ini mau selesai, Tom, masih kurang beberapa barang lagi. Dari Rezi bawa jam banyak banget soalnya," balas Nana.

Aku mengambil jam tangan yang dimaksud Nana lalu mengarahkannya menuju Tomi. "Ini punya Rezi, gue selesein dulu, baru istirahat. Nggak enak gue kalau nggak tepat waktu." Rezi adalah temanku yang sudah sukses dengan usaha jam tangannya, karena itu profesionalitasku juga harus ikut sukses dong dalam iklan ini.

Tomi menyugar rambutnya, capek kali ya seharian ikut aku. Stres gitu mukanya. "Nggak ada, udah yang lain istirahat dulu. Mia ikut gue." 

"Apaan sih, Tom?" Aku menyela. Heran, kerjaan belum beres diminta bubaran.

"Tante Puji datang, udah di lobby." Jawaban Tomi membuatku mendelik. Mama datang? "Terus menurut lo, gue harus bilang dia tunggu dulu gitu sampai anaknya beres kerjaan? Gila aja lo."

Aku buru-buru merapikan diri dan segera ikut Tomi turun ke bawah. "Kenapa nggak lo ajak naik sih?" Mamaku itu punya kebiasaan ajaib, datang tiba-tiba dan seringnya pada waktu yang tidak terduga. Hah.

"Udah gue minta naik, tapi bilangnya cuma mampir sebentar, terus minta lo turun."

Dan benar saja, seorang wanita cantik sudah di duduk di atas sofa dengan anggunnya. Sendirian pula. Gawat. "Mama nggak sama Ayah?" tanyaku dengan gerakan mengusir Tomi pergi.

Mama memberiku pelukan dan senyumnya. Mama yang paling kucinta. Saking cintanya, aku sampai mendengkus ketika dirinya mulai ikutan ribut mendengar rencana perjodohan Eyang. "Iya, sendiri."

Dalam senyumku yang kupaksakan merekah, aku bisa menduga kalau kedatangan Mama kemari adalah bagian dari siasat Eyang yang masih meminta diriku untuk setuju dengan rencananya. Kalau Eyang tidak bisa menembusku langsung, maka akan lewat Mama, tapi kalau tidak bisa juga maka pasti ke Ayahku. Siklusnya pasti begitu.

"Jauh-jauh dari Bali, langsung naik aja, Ma. Nanti tidur di kamarku."

"Enggak usah, Mama cuma sebentar kok." Mama mulai mendekatkan badannya ke diriku dan berbisik pelan, "Kata Eyang kamu nolak jodohmu ya?"

Aku mendelik. Ngawur. "Aku bukan nolak jodohku, aku nolak chef itu."

"Lho, kalau kamu nolak Jeffrey itu berarti kamu nolak jodoh kamu, Ya. Jeffrey itu udah pas lho sama kamu."

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang