"Jeffrey adalah orang baik. Tentang hal itu, aku yakin kamu setuju, Mia. Karena itu, aku mau memberikan dua pilihan untuk kamu. Silakan pilih satu yang terbaik."
"Kenapa kamu yang ngatur? Kamu pikir kamu siapa?" cecarku padanya yang malah dibalas dengan tawa nenek sihir dalam cerita Barbie. Rasa sebalku pada dirinya sudah di ujung tanduk.
"Karena memang hanya dua pilihan. Satu, kamu mempersilakanku tinggal di sini untuk sampai urusanku selesai. Atau yang kedua, kamu rela suami kamu membayar semua kebutuhanku di luar. Dari hunian, makan dan beberapa kebutuhan lain sampai urusanku selesai. Hanya dua pilihan, mana yang kamu pilih?"
Gantian aku yang tertawa seperti penyihir, menertawai dua pilihan tidak masuk akal yang dibuat oleh jelmaan ular berambut blonde. Aku tidak mengerti, kenapa anugerah kecantikan yang dia punya tidak diimbangi dengan sikap dan kecerdasan yang mumpuni pula. Bagaimana bisa seorang wanita yang hanya berstatus teman, seenaknya bertingkah demikian? Apa dia tidak pernah diajari tata krama? Segilanya diriku dan sebangsatnya Babas, kami masih ingat tata krama.
"Nggak waras," bentakku. "Kamu tidak pernah mengenyam bangku sekolah sampai tidak tahu sopan santun? Dalam urusan kamu, kenapa harus melibatkan saya dan Jeffrey? Kami tidak ada hubungannya dengan urusan kamu."
"Tentu ada. Baik Jeffrey dan kamu, ada hubungannya. Jeffrey bisa membantuku untuk hidup di sini dan kamu bisa membantuku dalam hal lain. Itu saja."
Aku membuang muka, daripada gila menatap wanita yang masih memasang senyum iblis ini. Terlebih dengan sikapnya yang bak malaikat di depan Jeffrey, tetapi setan di hadapanku, makin membuatku ingin memangsa dirinya. Aku masih ingat saat kemarin Jeffrey pulang, wanita itu langsung memeluk dan memberi kecupan manis di kedua pipi suamiku. Padahal terpampang nyata ada aku yang tengah memelotot di atas sofa. Bagaimana mungkin wanita yang dianugerahi etika dan pesona fisik luar biasa, malah membabi buta menurunkan harga dirinya?
Dilihat dari manapun sangat tidak sopan untuk berani skinship dengan pasangan orang lain, terlebih pasangan mereka melihatnya. Itu melanggar etika, atau jangan-jangan wanita ini tidak punya etika? Lihatlah, dia bukannya merasa bersalah karena telah memancing amarahku dari kemarin, tetapi malah menyunggingkan gigi veneer-nya, sekaligus mengangkat telepon seenaknya. "Halo? Gimana?"
Aku masih membuang muka.
"Setiabudi?"
Aku masih membuang muka, meski telingaku panas.
"Punya kamu?"
Kali ini bukan telingaku saja yang panas, tetapi tanganku juga. Aku tidak sabar mau menampar orang.
"Sebentar, sebentar." Melalui ekor mataku, aku melihat dirinya menjauhkan ponsel dari telinga, lalu menghadapkannya ke depan mulut. "Halo, iya gimana, Jeff?"
Aku langsung berpaling menatap ponsel yang mengeluarkan suara Jeffrey. Loudspeaker-nya aktif, ponsel sedikit menghadap ke atas, jadi aku bisa melihat nama kontak di sana. Sialan. Nenek lampir penyuka ilmu sihir! Awas saja.
"I bought. Tahun lalu aku beli dari teman, kalau kamu mau kamu bisa pakai, tapi memang cuma satu kamar." Suara Jeffrey mengalun dengan santainya. Jangan bilang dia mau memberikan apartemen di Setiabudi untuk wanita ini? Ini tidak bisa dibenarkan. "How?"
Wanita ini malah memasang muka bingung, sesekali juga memainkan bibirnya. Digigit sana sini. Kalau aku punya kekuatan super, kurobek saja bibirnya daripada dimainkan sok seksi begitu.
"Sepertinya aku bisa tinggal di sana." Evelyn kembali tersenyum. "Tapi bagaimana dengan istri kamu, Jeff? Apa Mia akan menerima?"
Tidaklah. Jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...