LIMA

2.4K 278 3
                                    

"Kok di hotel lo sih, Bas?"

Aku memberengut kepada Babas yang tampak gagah berjalan di sampingku. Senyum terus dari tadi. Bukan tidak mungkin kebahagiaannya hari ini adalah karena aku yang menyanggupi persetujuan untuk bertemu dengan celebrity chef itu.

"Jeffrey itu temannya pasangan gue. Dan resto dia juga ada di sekitar sini, jadi gue pikir mending di sini aja."

Aku memutar bola mataku, sebal. Jatahku keluar dengan temanku harus terpaksa batal karena janji yang dibuat seenaknya oleh Babas. Waktu dan tempat disiapkan penuh olehnya. Aku hanya perlu datang dan duduk lalu menunggu si Jefri Jefri itu.

"Gue paling nggak suka sama orang yang punya janji tapi datang molor ya!" ingatku pada Babas yang mempersilakanku memasuki restorannya. "Hotel lo nggak ada tamu apa gimana? Restorannya sepi banget."

Babas tersenyum saat menarik sebuah kursi untukku. Dia benar-benar bahagia di atas penderitaanku. "Mengosongkan setengah restoran nggak akan bikin gue miskin tiba-tiba, Ya. Udah santai aja."

Aku tidak menanggapinya. Aku tidak peduli. Mau dia miskin tiba-tiba juga tidak akan berpengaruh padaku. Karena yang memengaruhi diriku hanya satu, ucapan Mama ketika beliau meneleponku kemarin. Aku bahkan masih ingat saat suara Mama yang biasanya lembut menjadi panas membara, saat mencari tahu kebenaran dari rasa penasarannnya.

"Kamu mau dijodohin sama cucu teman Eyang Lasmi?"

Sebenarnya sejak sampai Jakarta aku sudah bisa menebak kalau Eyang akan segera menghubungi orang tuaku. Apalagi Mama. Dan tidak kuduga suara Mama mampu membuatku merasa kecil nan ngeri sendiri. Bagaimana bisa beliau terdengar sebahagia itu padahal hanya mendapat kabar dari telepon? Mama sedang berada di Bali jadi sudah pasti Eyang menghubungi lewat sambungan online. Tapi bisa-bisanya beliau bahagia? Apa dia senang dengan perjodohan ini?

"Heh! Ngelamun aja."

Suara Babas membuyarkan bayangan tawa Mama yang mengedar di kepalaku. "Ya habis lama. Gue paling benci sama orang yang begitu, Bas. Time is money, kalau lo belum sekaya Raja Salman, jangan berani-beraninya buang-buang waktu."

Babas berdecak lalu melempar pandangannya ke arah dapur restoran. Tempat favoritnya, kurasa. "Dia enggak buang-buang waktu, Ya. Cuma memang lagi ada urusan aja, pun lo tahu sendiri Jakarta ruwet, jadi tunggu aja."

Gantian aku yang berdecak, agar Babas tahu kalau aku tidak main-main. Kalau memang dia pekerja tv harusnya tahu kalau waktu itu berharga. Tapi sekarang malah seenaknya terlambat. Dia sungguh bukan calon suami yang tepat untukku. Daripada emosi menunggu orang itu lebih baik aku ngetwit, tapi gerakanku mengambil ponsel dari tas harus terjeda, karena head chef tempat ini datang. Dari ekor mataku, sudah kupastikan gurat senyum Babas akan terlihat. Nah, kan.

"Di, Jeffrey udah dekat. Sebentar lagi sampai," ucap head chef itu kepada Babas lalu berpaling ke arahku. "Saya Anton, kamu pasti Mia? Aslinya lebih cantik dari semua foto yang di media."

Aku menerima jabat tangannya lalu tersenyum. Kalau tidak ingat tatapan memuja dari Babas tadi, sudah kupastikan pria keturunan latin ini, menjadi salah satu pria dalam list pria yang aku suka.

"Terus tinggal naik atau gimana?" tanya Babas.

"Lagi cari parkiran."

Aku tidak suka berada di antara dua kekasih yang memadu cinta. Usapan tangannya itu lho ... argh.

"Mia? Saya tinggal dulu ke dalam, ya?"

Aku mengangguk mempersilakan Anton pergi. Btw, kira-kira di hubungan mereka berdua dia yang jadi cwk apa cwk?

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang