Aku terbangun karena merasakan kosong. Ranjang hotel yang tadinya bersih nan wangi, sekarang tak berbentuk dan spreinya mencuat ke sana sini. Aku jadi bertanya-tanya seheboh apa gerakan kami. Empat kali melakukannya, luar biasa. Kok ya mau itu lho saya, heran. Namun ... jawabannya sederhana, enak dan menyenangkan karena mendapat pengalaman baru. Aku masih gadis sebelum Jeffrey mulai membelaiku, percayalah. Alhasil ada bercak merah di sprei putih yang harus segera disingkirkan.
Aku memandang diriku lewat cermin, tampak ruwet. Beberapa tanda merah menghiasi leherku, membuat rona merah seketika mencuat di pipi. Jadi teringat bagaimana pintarnya Jeffrey melukiskannya semalam.
"Your mine, Mia," bisiknya waktu itu.
Astaga, bisa-bisanya berpikiran mesum. Aku kemudian menangkup sedikit air lalu membasuhnya ke muka. Sprei masih ada bekas, badanku penuh lukisan dan pegal di beberapa bagian.
"Ya, kamu sepenuhnya telah menjadi wanita, Mia." Berbicara pada diri sendiri membuatku lebih baik. Seperti memberi support kalau apa yang kulakukan kemarin dan pagi tadi, bukanlah paksaan dan kesalahan.
Dari awal Jeffrey tidak memaksa. Lepas aku bicara, dia langsung menciumku lagi, tapi sesaat berhenti untuk bertanya, kamu yakin? Ya ampun, pria mana yang sudah berstatus suami tapi masih menanyakan perihal itu ke istrinya? Untuk hal ini aku akui, Jeffrey luar biasa sopan. Sambil menyentuh beberapa lukisan buatan Jeffrey, aku jadi teringat bagaimana dia memperlakukanku seperti barang yang mudah pecah. Begitu hati-hati. Sedikit-sedikit menanyakan, apa sakit? Padahal akunya baik. Ya, memang sih sakit, tapi dia bisa membuatnya tidak sakit.
Ya, intinya begitulah. Terlalu banyak bercerita tentang peranjangan kami, aku takut kalian frustasi. Jomlo bisa apa? Iya, kan?
Selesai mencuci aku langsung mandi dan mempersiapkan diri keluar hotel. Besok kami harus kembali ke Jakarta. Bekerja lagi. Karena aku tadi terlambat bangun, jadi Jeffrey sudah meninggalkanku untuk main sendiri. Lihat, dia sudah punya teman bule rupanya. Segala pakai melambai ke arahku lagi. Sedang apa coba?
"Kamu udah bangun?" Jeffey berlari dari area jetski lalu menghampiriku yang sudah duduk manis di bawah payung. "Capek, nggak?"
Aku mengernyit. "Emang habis maraton, capek?" Dia tergelak lalu ikut duduk di samping kiri meja. Sambil meneguk air mineral, Jeffrey terus memandangku dengan gurat senyum di bibirnya. "Kamu ngapain lihatin aku gitu?"
"Aku hebat ya. Udah kamu tutupi pakai bedak juga, leher kamu masih kelihatan."
Mendengar ucapan Jeffrey aku langsung memicing. Sudah memakai foundation yang paling bagus, masa iya bekasnya masih kelihatan. Lebih baik pakai scarf saja? Tapi, ya kali di pantai pakai scarf.
"Udah nggak pa-pa. Lagian nggak ada yang notice. Pun yang bikin suami kamu senditi, jadi apa masalahnya?"
Ya, masalah lah. Merah-merah di sepanjang leher itu masalah buatku. Rencananya aku akan berfoto dengan beberapa barang endorse di sini, masa fotonya menampilkan mahakarya Jeffrey. Tahu begitu kemarin bawa Mayang sekalian biar bisa bantu make up. Eh, tapi kalau bawa Mayang nanti dia bisa tahu, aku habis nananina sama Jeffrey.
"Apaan sih, foto-foto gitu?!" Aku mengambil ponsel dari tangan Jeffrey. Baru saja aku mendengar suara kamera memotret, aku yakin dia memotretku. Nah kan betul, candid, tapi bagus juga. "Hm. Kamu punya skill foto bagus." Lumayan bantu-bantu endorse bisa nih.
"Nggak kalah kan?" tanyanya sambil tertawa. Aku sendiri cuma diam, masih memandangi mahakarya Tuhan yang dipotret Jeffrey barusan. "Nggak kalah sama mantanmu yang punya hobi fotografi."
Seketika aku menoleh. Maksud dari ucapan Jeffrey itu Ben? Ben punya hobi fotografi.
"Oh iya, Mia. Besok aku ada acara di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...