Satu bulan dari hari itu.
Satu bulan lepas Jeffrey menggila—dengan menempelkan keningnya ke keningku—di rumah Eyang, akhirnya Jeffrey datang ke Bali dengan rencana lamarannya. Gilanya Ayah dan Mama sudah tahu dan berbahagia. Astaga, tepuk tangan untuk kemalanganku.
Aku mengernyit heran kepada Jeffrey yang dengan pedenya masuk ke kamarku. "Sopankah begitu? Main masuk kamar orang. Kamu ngerti nggak sih ini kamar aku?" Jeffrey mengangguk sejenak lalu berjalan menuju ranjangku dan berbaring di sana. "Bangun nggak! Kalau nggak aku teriak nih."
"Mau teriak juga gimana, di rumah ini cuma ada kamu sama aku Mia. Ayah sama Mama nggak kelihatan, mereka keluar?"
Mataku melotot sempurna bahkan tanganku langsung reflek menyambar hair spray hingga mendarat di perutnya. "Sembarangan nyebut Ayah sama Mama. Kamu nggak ada hak buat manggil orang tuaku gitu, ya."
Aku melihat Jeffrey tertawa kemudian duduk menghadapku yang berdiri di dekat meja rias.
"Kamu cantik."
Aku mendecakkan lidah dan mulai ancang-ancang melempar pouch make up-ku sebelum dia mulai berdiri dan lari menuju kamar mandi. Demi manusia setengah ular yang penuh bisa, dia lebih bahaya dari siluman itu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang tuaku, mereka dengan santainya membiarkan pria yang katanya akan menikahi putri tersayangnya, tidur dan menginap di kamar tamu selama beberapa hari ini. Bahkan sebelum aku datang ke Bali. Kalau tidak karena Mayang yang menahanku waktu itu, sudah pasti aku akan mencakar wajahnya. Seenaknya bertamu, menginap pula. Mana Mama kelihatan suka sekali, entahlah apa yang dipikirkan Mama sampai bisa sesuka itu. Aku yakin Jeffrey pakai pelet.
"Mia," panggilnya.
Aku mendengar pintu kamar mandiku terbuka.
"Kamu mau makan apa? Udah mau jam makan siang, ayo kita cari makan di luar." Dan benar saja saat aku menatap ke cermin, pantulan dirinya berdiri di sampingku dengan kaus putih, terlihat sedang meraikan rambut basahnya. "Gimana mau nggak?"
Kami bertatapan melalui cermin ini. Tidak ada hal yang bisa kulakukan lagi selain menjawab dengan gelengan kuat. "Nggak. Mending sekarang minggir, aku mau istirahat." Tanpa berlama-lama aku membaringkan diri ke ranjang lalu fokus dengan iPad-ku. Dengan jelas aku memberikan ultimatum pada Jeffrey bahwa diriku tidak mengharapkannya.
Aku yang diam lama, akhirnya tersadar bahwa ada suara pintu terbuka dan menyisakan aku seorang di dalam kamar. Syukurlah Jeffrey pergi. Aku tidak peduli jika dia berpikir aku menjengkelkan, karena pada dasarnya setengah hati diriku masih belum menerima kenyataan ini. Aku masih tidak percaya bahwa aku akan segera melepas masa lajang. Dan itu dengan pria hasil perjodohan Eyang Lasmi. Gusti nu Agung.
"My diamond Mia." Baru saja aku mendengar pintu tertutup sekarang terbuka lagi. "Lo udah baca?"
Tomi. Manajerku itu tanpa ba bi bu duduk di dekat kepalaku dan mengelusnya pelan. Bau-bau aku mencium panas matahari menguar dari badannya. "Ini lagi baca."
Dia malah mengambil iPadku dan membuang napas cepat. "Lo berhasil jadi Widya."
Sesaat mataku terbelalak lalu sayu perlahan kemudian berair tiba-tiba. Informasi yang disampaikan Tomi mampu membuatku terharu. "Serius?"
"Ponsel lo mana?" Tomi mengangguk kemudian mencari ponselku yang masih mengisi daya. Kebiasaanku ketika charge ponsel, pasti akan kumatikan. "Dia ngirim WA ke lo, cuma nggak ada respon, terus WA ke gue. Gue juga udah terima email, btw minggu kedua bulan ini kita ada meeting sama mereka buat bahas ini."
Selangkah lagi impianku bermain dengan Christine Hakim akan terwujud. Aku akan menjadi Widya di sana. Dengan semua usaha dan tentunya bakatku, aku berhasil mengalahkan calon-calon Widya yang lain, termasuk mengalahkan... tunggu dulu, ada yang tidak pas di hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...