SEMBILAN

1.6K 229 3
                                    

"Terima kasih untuk kedatangannya Mia."

Hermono namanya, sutradara film The Underground, memberiku jabat tangan seusai casting dari pemeran Widya. Akhirnya aku selesai juga mengikutinya. Beliau mengatakan, untuk pemeran Widya ada tujuh orang yang berusaha merebut posisi itu. Dan kebanyakan dari mereka sudah memiliki pengalaman di bidang seni peran yang luar biasa. Salah satunya seperti yang baru masuk menggantikanku berakting di dalam, Ola Pamela. Bisik-bisik tetangga, dialah kandidat kuat untuk pemeran Widya. Pernah menang dalam kategori pemeran pendukung perempuan terbaik dalam FFI tahun lalu, penilaian untuk Ola Pamela tentu bisa tinggi—karena aku yakin jam terbangku dengan dia itu berbeda kelas—dia di atasku—.

"Pasti sukses Mba Mia," celoteh Mayang saat aku memasuki mobil. "Kan Mba Mia sudah usaha dan kerja keras."

Aku tersenyum melirik Mayang yang memberiku kerlingan juga jempol yang mengudara. Dai adalah saksi dimana aku berhadapan dengan kaca dan berlaga di depan sana dengan manisnya. Menguatkan karakter Widya itu gampang-gampang susah, tipikal wanita yang dari luar begitu arogan namun lemah di dalam. Hampir tiap-tiap waktu aku harus berusaha terlihat keras namun tetap menunjukkan pancaran sedih dari sorot mataku. Aku akui ini casting teribet dalam sejarah per-casting-an diriku. Tapi sebalnya, aku begitu mau mendapat karakter ini, gimana dong?

"Habis ini kita ke Tendean buat tapping talkshow, Ya." Tomi berbicara dengan memberiku sebuah air mineral.

Ya ampun aku sampai lupa harus tapping saking hebohnya mengurusi casting hari ini.

"Mau makan dulu atau gimana?" tawar Tomi yang aku jawab dengan anggukan, pun diikuti senyum cerah Mayang.

Mobilku akhirnya menuju ke daerah Tendean untuk mencari tempat makan yang paling dekat dengan stasiun tv tersebut. Sambil menunggu ke tempat tujuan, aku memilih mengambil ear buds dan membawanya ke telinga kemudian memutar lagu-lagu dari cover-an seseorang di akun SoundCloud, Frey0808. Saking suka suaranya, aku sampai menyebutnya Mas SoundCloud, lho. Senyum di bibirku tidak bisa dibendung saat suara pria itu mengalun dengan lembut, dengan sebuah petikan gitar yang mampu membuatku hanyut dalam melodinya. Mas SoundCloud menyanyikan lagu Fall for You yang cukup membuat diriku ingin bertemu dan berterima kasih karena telah menyanyikan lagu ini.

"May, kemarin aku DM Frey lho, dibalas pula. Kamu iri nggak?" Saat menoleh ke samping, kudapati Mayang yang terlelap. "Tom, kita langsung ke Tendean aja deh, di sana ada tempat kopi kan? Langsung makan di sana aja."

Aku tidak tega melihat Mayang yang kelelahan, jadi aku putuskan untuk langsung ke stasiun tv tersebut. Dalam perjalananku menikmati lagu di telinga, aku memandang ke luar jendela mobil yang menampakkan sumpeknya Jakarta. Kendaraan saling adu asap di tiap harinya. Gaya hidup warganya yang tiada hari tanpa bekerja dan suka membuang gas emisi berlebih, sangat tidak baik untuk kesehatan, apalagi di masa tua.

Karena itu mulai beberapa tahun belakangan, aku sudah memikirkan untuk merancang masa tua nanti, untuk hidup di kota lain. Yang jauh dari hingar bingar gemerlap kota. Menyepi di tempat yang damai dan tentram, bersama anak cucu. Oh, tentunya dengan mas suami. Dan bicara tentang suami, setelah adegan Mama mengantar makanan malam itu, ternyata tidak ada gerakan pemaksaan lain. Eyang Lasmi tidak lagi mengusikku dan Ayah tidak gerak sedikitpun. Tebakanku tentang Ayah ternyata melenceng, beliau sama sekali tidak menunjukkan taringnya. Padahal dulu waktu kecil saat aku menolak arahan beliau barang sekecil apa saja, pasti akan dimarahi.

"Ayok, turun." Kami sudah sampai dan berlalu menuju cafe tersebut. Kemudian memesan makanan yang cukup mengganjal perutku dan mengenyangkan untuk Mayang.

"Makan yang banyak, May, biar nggak tipes," kataku kepada Mayang yang membalasnya dengan cengiran. Gadis itu berlagak diet tapi setelahnya malah menginap lima hari di Siloam. "Gue duduk sana, Tom."

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang