@lambendower kalau tukar cincinnya sama chef , terus foto babang sebelah yg di pantai siapa dong? Jangan-jangan jangan-jangan nih...
Btw kalau nanti ada yg dapat undangan, bagi ke minceu yeeAku melempar ponselku ke atas meja. Habis lelah bekerja ternyata masih banyak kerjaan lain yang menumpuk termasuk menjernihkan pikiranku. Dulu aku pikir, artis yang sering diliput media atau sering wara-wiwi berita gosipnya itu akan menyenangkan. Dia bisa eksis dan banyak yang memberitakannya, tapi ternyata setelah aku mengalaminya sendiri, aku jadi tahu alasan dari mereka yang tidak menikmati kepopuleran bahkan terpuruk dalam gosip itu. Melihat berita simpang siur tentang diri kita beredar di luar sana, yang berakhir pada sebuah fitnah dan rumor belaka, ternyata menyakitkan.
Komentar mereka kubaca satu persatu. Dari yang mengatakan, aku yang berselingkuh dari Ben dengan Jeffrey. Kami—aku dan Ben—putus tidak baik-baik. Sampai ada yang mengatakan kalau aku hamil duluan karena itu memilih segera menikah.
Macam-macam kalimat itu mewarnai postingan terakhir akun lambe itu. Ada juga seseorang yang sampai memberiku DM segala umpatan kebencian karena aku terlihat menyeleweng dari hubunganku yang sebelumnya. Padahal nyatanya? Hingga sekarang ini aku bingung bagaimana aslinya diriku memandang hubungan ini. Aku kepada Ben di masa lalu dan aku kepada Jeffrey di masa depan.
Sebuah tisu menempel dan mengusap bawah mataku perlahan. Aku terhenyak dan bangkit seketika. Tidak sadar jika aku sudah tidak sendirian lagi.
"Teman kamu benar ini aja? Kolega kerjamu atau mungkin tamu VIP restomu?" tanyaku dengan mengambil tisu dari tangan Jeffrey dan menggeser badanku lebih menjauh ke ujung sofa.
"Udah itu aja."
"Oke." Menumpukkan catatan daftar tamu undangan pernikahan kami, aku kemudian beralih menyimpannya ke dalam tas untuk besok dibawa ke tempat undangan.
"Sini aku aja." Jeffrey merebut tas itu dan membawa ke belakang dirinya. Aku pikir dia akan menyimpannya di mobil. Setidaknya kalau menyimpan di sana, Jeffrey harus turun apartemen dulu dan aku bisa cuci muka sebentar. "Makan dulu." Aku menggeleng. Meksipun harum masakan Jeffrey itu nikmat tapi tidak membangkitkan seleraku. "Kalau nggak makan nanti di-opname."
"Ih, kok ngomongnya gitu!" Aku disumpahi?
Sekilas ada senyum yang muncul di bibir pria yang tidak lama lagi akan menyandang sebagi menantu keluarga Bratasena ini. Entah kenapa aku mampu melihatnya sebagai menantu Mamaku, tapi belum sebagai seorang suami.
"Kamu mau cerita, Mia?" Sambil menyuapi—memaksa lebih tepatnya—pasta untukku Jeffrey sekonyong-konyong bertanya begitu saja. Mungkin karena melihatku menangis kali ya? "Manusia tidak selalu merasa bahagia, boleh sedih dan kecewa. Ketika salah satu ada yang merasakannya lalu yang lain tahu, tidak ada salahnya untuk membagi cerita itu. Walaupun tidak ada jaminan jalan keluar, tapi dengan sedikit cerita mungkin bisa meringankan hati."
Tatapanku tertuju pada mata birunya yang juga menatapku lurus. Dalam jarak yang dekat dan intim ini ada perasaan lain yang menyelimutiku. "Kenapa, Jeff? Kenapa mau nikah sama aku? Apa bisa menikah tanpa cinta?"
Suapan Jeffrey terhenti sejenak, beralih pada dirinya yang memberiku air minum. Chef yang harusnya ada di balik kompor restorannya ini, tiba-tiba berada di apartemenku karena aku dikejar pertanyaan wartawan terkait pertunangan kami kemarin. Apalagi gosip aku hamil duluan terdengar nyaring sekali.
"Menikah tanpa cinta. Kalau persepsi orang lain aku tidak tahu, tapi menurutku tidak bisa. Menikah harus dengan cinta."
"Lalu kita? Pernikahan kita nanti?"
"Kalau hingga sekarang ini aku masih berjuang untuk persiapan pernikahan kita, aku pikir kamu bisa menyimpulkan sendiri." Jeffrey menjawab dengan mata yang kembali menatapku lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...