Kontrak kerja dengan alat fitness hampir selesai. Dari segi badanku yang dulunya sudah bagus, ditempa dengan menjadi brand ambassador, bisa-bisa badanku sebelas dua belas dengan Ade Rai. Sekarang, aku baru selesai mengikuti grand opening cabang baru mereka di salah satu mal di Bandung. Sedikit lelah memang. Jakarta-Bandung bolak-balik selama hampir satu minggu. Bisa kubayangkan betapa lelahnya tubuhku nanti saat pulang ke rumah. Rumah yang isinya seperti kisi-kisi neraka. Bukan maksudku mengatakan apartemen Jeffrey sepanas neraka, tetapi penghuninya itu, lho. Astaga.
Meskipun aku mengizinkan Evelyn tinggal—dengan catatan—tetapi terkadang masih sulit menerima kehadirannya. Karena itu, aku lebih memilih menyibukkan diri bekerja, bahkan sampai luar kota berhari-hari. Sampai-sampai sering dicari Jeffrey kalau tiba-tiba keluar kota tanpa sepengetahuannya. Ya, mau bagaimana lagi, daripada melek mata melihat Evelyn mengurai senyum di tengah dapur sambil sombong padaku, lebih baik aku kerja. Dapatnya duit bukan emosi.
"Halo."
"Miamor, kamu pulang kapan?"
"Ini lagi otw." Sedikit banyak hal yang aku sadari sejak tinggal dengan Jeffrey, sebenarnya dia itu manis. Contohnya, begini ..., "Jeff, aku pengin ayam kecap."
"Iya, Sayang. Aku beli bahan-bahannya dulu, ya."
"Emang sekarang kamu nggak kerja?"
"Buat kamu apa sih yang nggak?"
Aku tetap memutar bola mata, meskipun kedua sudut bibirku minta diangkat ke atas. Hal manis Jeffrey adalah sikapnya yang mau memperlakukanku dengan baik, bahkan membuatku merasa seperti putri. Jujur. Namun tidak jarang pula sesuatu yang keluar dari mulutnya mampu membuatku risih dan geli. Walaupun aku pernah menjalin hubungan dengan pria yang sama buayanya, tapi menghadapi Jeffrey rasanya canggung. Masih kuat ingatanku saat selesai melakukan ritual melepas yang pertama kali. You know what I mean, Guys. Di malam pertama itu, setelah nana nina dengan mantapnya, bukannya berkata terima kasih atau apa, Jeffrey malah mengatakan, "Kenapa banyak pria yang cari perawan? Padahal merawanin anak orang sesusah ini?"
Kalau saja saat itu nyawaku tidak sedang melayang karena lelah, pasti sudah kutebas kepalanya. Itu bisa dianggap sebagai pelecehan, menurutku. Hih, jadi teringat Jeffrey terus. Sebal.
"Dia masih tinggal di sana, Ya?" Begitu sampai di kawasan apartemen, Tomi langsung bertanya kepadaku.
"Iya, masih."
Maksud pertanyaan Tomi tidak lain tidak bukan adalah Evelyn. Perjanjian izin tinggalnya adalah siapapun tidak boleh ada yang tahu kalau dirinya ikut tinggal bersama kami. Perjanjian itu aku yang meminta, lalu mereka berdua yang menyanggupi. Pokoknya, bagaimanapun, aku tidak mau orang lain sampai tahu, apalagi sampai terdengar media di luar sana. Sayangnya, sepintar-pintarnya Mario Bros melompat, lama-lama jatuh juga. Tepat beberapa hari setelah perjanjian itu, saat aku meminta Tomi dan Mayang untuk naik ke atas mumpung Evelyn sedang pergi, tiba-tiba dia kembali dan mengatakan kalau tidak jadi pergi lalu langsung masuk ke kamar. Alhasil, bungkamku selama beberapa waktu, terbongkar karena Evelyn sendiri. Jadi, kalau kalian merasa makhluk yang paling menjengkelkan dan tidak menguntungkan, jangan sedih. Masih ada Evelyn di daftar teratas.
"Ya udah, gue naik dulu ya," pamitku turun dari mobil. Mengarahkan diri ke cafe sebentar, aku terperanjat saat melihat lambaian tangan mengarah padaku. Ya ampun, itu kan Babas.
"Gue kangen sama lo, Ya." Babas langsung memelukku begitu aku menghampirinya.
"Kenapa nggak ngabarin gue dulu?"
"Coba cek WA gue semalam. Gue udah kabarin, tapi dibaca aja enggak."
Aku meringis. Kebiasaan lama, chat WA mudah tenggelam. "Bukannya kalau lagi musim liburan, hotel ramai, ya? Kok lo bisa kongkow-kongkow? Nggak kerja ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...