"Iya. Hati-hati," ucapku melepas Jeffrey pergi.
Membawa koper besar miliknya, suamiku itu akan pergi selama satu minggu ke Makasar. Ada Indonesians Chef—sesuatu, aku lupa nama pastinya. Bagaimana cara Jeffrey yang begitu semangat membuatku tahu kalau acara itu penting untuknya. Tampak raut wajah senang, gembira dan tak sabar terlihat begitu jelas. Apapun tentang memasak, dia pasti semangat. Jika benar begitu, apa aku harus jadi wajan dulu, Jeff, agar kamu semangat?
"Kabari aku kalau kamu ada butuh sesuatu." Jeffrey melepaskan pelukan kemudian menggantinya dengan satu kecupan manis di keningku.
"Bukan aku yang butuh sesuatu, tapi temanmu itu. Ada jaminan dia nggak akan merengek ke kamu? Dia pasti buat laporan palsu ke kamu kalau aku ngapa-ngapain dia, pasti gitu."
Dua hal yang sering aku dan teman wanita Jeffrey aka Evelyn lakukan di apartemen, memancing atau terpancing keributan. Sumber awal mula tentu Evelyn, kalau bukan dia siapa lagi? Aku jadi memikirkan kalau Jeffrey pergi lama, apa baiknya aku tidur di apartemen lama saja daripada hanya berdua dengan wanita itu di rumah.
Jeffrey tertawa seraya mengusap rambutku. "Berantem terus ih kamu."
"Lha emang gitu. Karena nggak mungkin juga aku bakal akur sama cewek yang kamu perhatiin barang rambut rontok sehelai doang dibawa ke salon. No the way. Ogah."
Curiga, marah dan emosiku ini ada sebabnya. Jangan kalian kira aku sering berkata buruk begini karena memang perangaiku. Kalian salah. Aku itu tipe manusia yang akan menjadi cermin bagi orang lain. Kalau lawanku baik, aku ikut baik. Kalau lawanku jahat, aku lebih jahat. Begitu konsepnya. Dan tentang Evelyn yang selalu kubalas dengan sikap agresif, kalian bisa menduga seperti apa pantulan lawan bicaraku satu itu. Saat Jeffrey sudah benar-benar pergi ke bandara, menyisakan aku di sini berdua saja dengan Evelyn yang sialnya sedang membawa sesuatu keluar dari dapur, aku memasang mode siap tempur kepadanya.
"Aku buat croissant, kamu mau, Mia?" tawarnya saat aroma manis kue hangat menguar di udara.
Aku beri anggukkan sekilas, sambil menyalakan TV untuk menonton berita banjir di mana-mana. TV tersebut kunyalakan hanya untuk mendapat suara, selebihnya aku memilih membaca naskah untuk film The Underground yang proses syuting akan dimulai awal tahun depan. Tidak terasa aku sudah mulai screening naskah. Aku tidak sabar untuk memulainya. Harusnya film ini akan menjadi debut hebatku, ya ... sombong dan mengapresiasi setinggi langit pada diri sendiri tidak masalah, kan? Itu bentuk pujian dari, oleh, untuk kita sendiri, karena jika bukan kita sendiri lalu siapa lagi? Jadi rajin-rajinlah menyanjung diri sendiri.
"Aku niatnya mau bawain Jeffrey ini, tapi dianya sudah berangkat dulu." Sekonyong-konyong Evelyn duduk di sampingku sembari mengambil remote dan mulai mengganti saluran. Bisa-bisanya. "Kamu cobain, pasti enak."
"Iya, makasih. Tadi udah sarapan." Aku meringis, kemudian menggeser dudukku. Terlalu dekat dengan kutub yang berlawanan arah bisa membuat hubungan tarik menarik. Aku dan dia itukan kutub sama arahnya. Jadi, tolak-menolak.
"Oh, how beautiful she is!"
Suara Evelyn yang menggelegar sambil menunjuk TV membuatku jadi lepas konsentrasi. Sebuah tayangan talk show yang sering menghadirkan tamu-tamu dari berbagai penjuru negeri. Kali ini yang menjadi narasumber adalah pasangan suami istri yang tengah menggendong kedua anaknya. Ada yang spesial memangnya?
"Wanita itu beruntung," sambungnya.
Yang awalnya ingin membaca naskah, aku jadi ikut nonton TV. Selain penggalan cerita yang dikatakan Evelyn, aku akhirnya menyimak acara tersebut dan mengetahui kalau cerita yang disampaikan kedua narasumber sesuai dengan intermeso dari Evelyn.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...