SATU

6.9K 416 4
                                    

Jogjakarta selalu menjadi tempat istimewa untuk memadu jiwa yang ingin istirahat dari sibuknya ibu kota. Mereka memilih kota ini untuk menikmati suasana yang selalu hangat untuk kami—para pelancong—meskipun saat ini kata pelancong kurang pas untuk disematkan kepadaku. Karena tujuanku kemari bukanlah untuk mengelilingi kota apalagi hingga bertemu dengan gubernurnya. Tujuanku kemari untuk menemui Eyang Lasmi—nenek dari pihak ayah—karena tiba-tiba memintaku datang dengan alasan rindu pada cucunya.

Halah, pasti bohong.

Terakhir kali aku kemari adalah tiga tahun yang lalu untuk menghadiri pernikahan Seno—sepupuku. Waktu itu ketika aku menemui Eyang beliau juga mengatakan hal yang sama. "Eyang kangen kamu, Nduk."

Iya, kangen. Kangen menceramahi diriku yang hingga mendekati 30 tahun belum juga settle down with someone. Aish, mana peduli ya, kan? Maksudku adalah mau berapapun usiamu kalau memang belum saatnya menikah, ya mau bagaimana lagi? Rasa-rasanya aku akan terkena darah tinggi kalau disinggung perihal itu. Berulang kali lagi.

"Pak Rahmat?" Aku memanggil seorang pria di hadapanku. Dia membawa papan tulis kecil—pasti perintah Eyang—bertuliskan namaku yang diangkat di atas kepalanya.

"Non Mia?" tanyanya dengan alis berkerut sempurna.

Aku mengangguk kemudian menurunkan maskerku sebentar. Karena aku tengah memakai perlengkapan perangku saat ini yaitu topi, masker dan kacamata hitam, jadi aku yakin sopir eyang ini pasti sulit mengenaliku. Apalagi ini adalah kembalinya aku ke Jogja setelah tiga tahun lalu, tentunya beliau lupa-lupa ingat pada diriku.

"Ayo, Non. Mobilnya di sana."

Pak Rahmat meraih koper yang kubawa lalu mengarahkanku mengikutinya menuju mobil. Baru saja berjalan sebentar aku sudah merasakan sengatan matahari di kulitku. Kalau begini, jadwal untuk sunbathing bisa saja aku tunda.

"Bapak jemput saya aja?" Aku memosisikan diri senyaman mungkin di kursi belakang saat Pak Rahmat sudah memasuki mobil. Koperku pasti sudah aman di belakang.

"Iya, Non."

Aku mengangguk sejenak kemudian menggeleng. "Babas nggak sekalian?" Dari kaca tengah mobil aku melihat Pak Rahmat kembali mengerutkan alisnya. "Babas. Baskara Adi, anaknya Pakde Tegar."

Pak Rahmat langsung mengangguk tersenyum, seperti anak sekolah yang mendapat kunci jawaban waktu ujian. Seperti aku dulu. "Sudah di tempat Ndoro, Non. Dari kemarin."

Ya ampun, sial. Kalau Babas sudah berada di sana, ini pertanda gawat. Dia pasti ingin cari muka dan perlindungan eyang. Pasalnya hanya tinggal kami berdua dari semua cucunya yang belum melepas masa lajang. Kalau Babas sudah ke sana duluan, itu tandanya dia akan menembusi Eyang atau bahkan hingga menyogok. Bungsu 3 bersaudara itu licik, dia tidak mau rugi. Selalu berusaha mengambinghitamkan diriku. Awas saja. Sampai siasatnya berhasil, aku jamin hidupnya tidak akan bahagia.

"Mamamia, gimana pesawatnya? Macet nggak?"

Aku memutar bola mataku saat menerima panggilan dari Babas. Suaranya yang mendayu-dayu membuat bulu kudukku merinding. Menjijikan. "Curang lo." Aku to the point. "Ngapain datang duluan? Mau cari muka?"

Aku mendengar kekehan di sana. Pasti dia sedang tertawa dengan segelas minuman. Babas dengan alkohol memang tidak bisa dipisahkan. "Gue ada perlu sama orang di sini. Lagian siapa juga yang mau cari muka sih? Palingan cuma cari pengertian."

"Pengertian buat lo itu neraka buat gue." Suaraku meninggi. Persetan dengan Pak Rahmat yang nampak kaget, aku tidak peduli. Saat ini aku berada di Jogja, jauh dari media, pun pakaianku tertutup dari atas ke bawah, jadi tidak akan ada yang mengenaliku. Jadi aku tidak perlu susah-susah menjaga image.

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang