⚠️ Butuh kebijakan baik saat membaca bab ini. Apapun yang tertulis adalah fiksi, mohon kebijakan masing-masing dalam memberikan sudut pandang ⚠️
Selamat membaca
•°•°•
Aku pernah membaca salah satu tweet yang menyebutkan bahwa, apapun makanannya minumnya adalah ludah sendiri. Waktu aku membaca itu, aku kira hanya orang bodoh yang akan melakukan hal itu, menjilat ludah sendiri. Dan sayangnya, aku sekarang menjadi bagian dari orang bodoh itu.
"Ditunggu sebentar ya, Bu. Chef Jeffrey satu jam lagi, beliau baru selesai."
Aku mengangguk mengiyakan pelayan tadi, wajahnya sudah setengah kuyu membuatku iba dan membiarkannya pergi segera agar tidak berlama-lama denganku. Ini semua salahku sendiri sih, karena datang di waktu yang tidak tepat atau bahkan harusnya aku tidak datang. Tomi mengatakan bahwa pemotretan di Prambanan ditunda dulu sampai akhir bulan, cuaca di Muntilan sedang buruk, tidak memungkinkan untuk pergi ke sana sekarang ini. Alhasil aku tetap stay di Jakarta selama weekend ini. Yang harusnya berfoto selama tiga hari, jadilah nganggur selama tiga hari. Hanya diselingi dengan beberapa take video endorse agar hidupku tidak foya-foya saja. Maklum, aku tidak bisa berlama-lama berdiam di tempat, harus ada kesibukan, kalau aku hanya diam aku pasti keblablasan. Karena sebenarnya aku menyukai kemalasan.
Sambil menunggu, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh tempat ini. Restoran Jeffrey. Demi apa aku akhirnya berani kemari seorang diri, dengan rasa gugup yang luar biasa. Dan untuk sedikit mengurangi rasa itu aku memilih berselancar ke Instagram dan mendapati postingan terbaru Babas yang menunjukkan IWC terbaru dengan caption "special gift". Aku seketika tersenyum melihatnya dan membuatku jadi teringat tentang pertemuan kami dua hari lalu.
Seperti tersiram air surga, aku masih ingat bagaimana raut muka Babas kemarin ketika bertemu denganku saat menanyakan alamat tempat ini.
"Restorannya Jeffrey di mana?"
Babas yang awalnya fokus dengan bola golfnya, langsung teralihkan ke arahku. "Gimana?"
Aku memilih tidak menjawab dan hanya mengedikkan bahu kemudian mendekatinya. Bermain golf di tengah malam, seperti kegiatan rahasiaku yang tidak banyak diketahui khalayak ramai. Pun ketika bermain aku lebih memilih mengajak Babas yang notabene keluargaku, jadi tidak banyak orang yang tahu, bahkan Shelin sekalipun.
Satu ayunan mengarah lurus dan tak! Apa berhasil?
Aku berbalik saat Babas menyentuh pundakku dan tertawa sesaat. Dia menertawaiku karena aku gagal. Yah mau bagiamana lagi? Sering bermain belum tentu lihai, tapi yang lihai sudah pasti sering bermain.
"Apa?" kataku padanya sebelum mulai ancang-ancang lagi.
"Kenapa tanya tentang Jeffrey? Get to know him?"
Aku menghembuskan napas perlahan dan memilih untuk kembali menatap Babas, fokusku sudah hilang. "Gue tanya restorannya, bukan him-nya."
"Lah, apa salahnya kalau sampai pengin tahu him-nya, kalian udah ketemu kan? Dan gue rasa cocok kayaknya."
Mendengar ucapan Babas yang tanpa rem, aku melempar handuk yang telah kupakai hingga dia mencibir jijik. "Ya kan itu perasaan lo, bukan gue." Aku mencoba untuk tidak bersuara sejulid mungkin dan menutupi rasa gugup yang menguar keluar. Ayo, Mia, latihan aktingmu jangan sampai gagal, jangan sampai Babas curiga. "Lagian kenapa juga sih, lo ributin gue? Gini ya, Bas, otak lo sama gue itu beda-beda tipis bobroknya." Babas malah tertawa riang aku mengoloknya. "Kenapa juga lo maksa gue buat terus maju ke Jeffrey? Apa alasannya coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...