Beberapa kali aku mendapati orang-orang mengarahkan ponselnya ke arah kami. Aku yang duduk berhadapan dengan Babas hanya bisa menghembuskan napas untuk menetralkan diri tidak terpancing emosi. Sudah cukup bagiku disidak oleh Tomi beberapa waktu lalu karena ketahuan hang out dengan teman-temanku tanpa sepengetahuannya. Harusnya yang kali ini jangan sampai ketahuan. Apalagi aku sudah berjanji untuk tidak lagi mencicip minuman setan, kecuali saat Babas mulai menggodaku, "Nggak nyobain minuman di sini, lo bakal nyesal, Ya."
Setelah rundingan slash ceramah dari Eyang, malamnya aku dan Babas putuskan untuk menikmati kawasan Jogja. Jauh-jauh dari Jakarta kalau hanya untuk diam di rumah Eyang bukanlah hal yang menyenangkan. Meskipun aku harus memasang wajah tersenyum kepada mereka yang meminta foto, setidaknya itu lebih baik daripada mereka yang memotret seperti penguntit. Itu menyebalkan. Apalagi kalau sampai ada yang memasukkanku ke dalam akun gosip, lalu tersebar berita bahwa Mia berkencan dengan pria di Jogja lalu membawa nama Babas di dalamnya, akan kupastikan dia harus ganti rugi. Itu pencemaran nama baik. Mana mungkin aku kencan dengan saudara sendiri? Kalaupun iya, lebih baik aku mengencani Seno yang lebih kaya dari Babas, walaupun suami orang.
"Kalau menurut gue, lo iyain aja apa yang dibilang Eyang. Menolak perintah dia, dosa," seru Babas dengan rokok di tangannya.
Aku berdecak pelan. Melihat Babas merorok di tengah ramainya manusia, membuatku aku iri. "Bas, tahu apa tentang dosa? Lo dan gue tahu benar kalau manusia macam kita ini adalah ladang dosa." Babas malah tertawa kencang. Semakin membuatku ingin mengeluarkan satu batang dari tas. Argh! Kalau saja ini tidak di keramaian.
"Dosa gue emang banyak, numpuk selangit malah. Entah ke Tuhan atau sesama manusia, besar dosanya sama rata. Tapi menurut gue biar nggak makin numpuk, alangkah baiknya kalau permintaan terakhir orang tua itu harus diturutin, biar jadi pahala."
Aku melempar tisuku ke mukanya. Bisa-bisanya berkata permintaan terakhir.
"Mamamia, dengar dan lihat. Lo mau cari alasan kayak gimana juga nggak akan ada gunanya. Eyang serius mau ngenalin lo sama cucu temannya, apa salahnya kalau lo lihat dulu?" Babas berkelakar dengan riangnya. "His nice. I guess."
Aku seketika ngeri menatap sebuah foto di layar ponselku, apalagi dengan ucapan Babas yang dengan santainya menyebut pria ini, nice. Oh, demi keturunanku yang hingga tujuh turunan tetap glowing, aku belum terbiasa dengan pria yang dengan mudahnya menyebut pria lain, nice. Itu sedikit aneh, bukan? Karena tak betah menatapnya aku memilih menutup dan sedikit melempar ponselku ke atas meja lalu mengambil napas dalam, merasakan rasa pusing yang mulai memasuki kepalaku. Puasa minum setelah sekian purnama ternyata membuatku tumpul. Kalau begini, jika nanti aku tertangkap berita mabuk di Jogja, ya sudah, pasrah. Paling Tomi akan menyidak dan memarahiku hingga berhari-hari karena ketahuan mabuk.
Tapi semua ini sebenarnya ada alasannya. Dan alasan itu adalah Jeffrey. Jeffrey Wilsen Prabaswara. Nama pria dalam foto yang dikirim Eyang untukku. Kata Eyang, dia seorang celebrity chef yang sering wara-wiri di tv dan youtube beberapa food blogger. Kata Eyang ya, bukan kataku. Aku sendiri malah baru tahu ada chef seperti ini di tv. Maklum jadwalku terlampau padat sampai tidak sempat nonton tv.
"Gimana? Kamu mau kan?" tanya Eyang siang tadi. Bahkan aku masih bisa ingat bagaimana ekspresi berharap Eyang.
"Eyang aku nggak ...."
"Aku tahu dia, Eyang." Babas memotong ucapanku. Apa-apaan pria ini? "Tenang saja. Aku pastikan Mia akan mau."
Aku mendelik saat itu juga. Kalau tidak ingat aku harus menjaga kesopananku di depan Eyang, sudah pasti akan kutebas kepala Babas. Seenaknya bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...