Memicing dan menusuk. Begitulah diriku ketika duduk berdua dengan Jeffrey di sofa tengah. Percaya atau tidak, saat pertemuan di cafe tadi rasanya seperti di antara hidup dan mati. Aku takut Babas curiga. Namun, beruntunglah, karena otak Babas hanya setengah sendok, jadi kurasa aman. Dia tidak bertanya-tanya tentang Evelyn lebih jauh, yang ada malah menggoda karena pernikahanku dianggapnya romantis. Padahal tidak begitu.
"Jadi, gitu kerjaan kamu kalau aku di luar kota? Kamu main sama dia? Kencan berdua nggak ingat kalau udah punya istri?" cecarku pada Jeffrey.
Jeffrey mendesah kesekian kalinya. "Tadi cuma jalan sebentar, Mia. Lagi pula kamu nggak kasihan sama Eve di sini sendirian?"
"Ya, nggak lah. Ngapain kasihan? Lagian kenapa juga kamu harus sibuk ngurusin dia? Dia bisa main sendiri kalau bosan. Orang nggak perlu bayar biaya sewa kamar sebelah, jadi harusnya uangnya bisa buat have un dong. Bahkan tanpa perlu kamu ikuti."
Aku berbicara dengan keras, berharap Evelyn mendengar dari dalam kamar. Mendengar curahan hati seorang istri yang dihadapkan pada wanita dari masa lalu suaminya. Yang sialnya tidak jelas bentukannya mengarah kemana. Betulkah pertemanan pria dan wanita seperti ini?
"Kamu tahu riskan nggak sih, Jeff? Ya, mungkin di sini nggak akan ada yang tahu atau ngeh kalau kalian pergi bareng, tapi kalau pas lagi di luar, tiba-tiba ada orang terus motret? Terus disebar di internet, gimana?"
"Aku bukan artis, Miamor." Jeffrey tertawa. Bisa-bisanya memang. "Kamu yang tenang gitu lho, Sayang."
"Tenang. Tenang. Apaan tenang? Mana bisa aku tenang? Kamu itu menikah sama aku. Kalau nanti ada berita kamu main sama perempuan, bukan cuma kamu yang bakal jadi berita, aku juga. Keluarga kita juga. Jeff, aku tahu kita manusia biasa, tapi dengan pekerjaan aku yang sering wara-wiwi di TV, rumah tangga kita juga berpotensi diliput media. Harusnya kamu ngerti aku, Jeff."
Waktu dilihat Babas saja aku sempat kelimpungan sendiri, bagaimana kalau orang lain yang lihat? Kalau manusia penyuka julid dan gosip? Bisa bahaya 'kan? Nama baik Mia Lanina Bratasena bisa terancam.
Perlahan aku merasakan hangat di tangan. Oh, Jeffrey menggenggamnya. Badannya juga sedikit mendekat padaku, ceruk leherku pun terasa hangat karena napasnya berhembus di sana.
"Maaf." Suara pelan Jeffrey mengalun pelan. Kadang kalau sedang adu pikiran begini, Jeffrey selalu yang memutus dengan meminta maaf. Toh, harusnya memang begitu. Tidak mungkin aku, lah. Aku kan benar.
"Lain kali, kamu izin dulu," sahutku. "Aku tahu, waktu kamu itu milik kamu sendiri, tapi jangan lupa kalau ada aku juga. Ini bukan cuma tentang aku yang nggak mau orang lain tahu keberadaan Evelyn, tapi aku juga mau kamu ngerti gimana perasaan aku. Istri mana sih yang nggak marah kalau suaminya pergi sama orang lain? Mana nggak bilang juga."
Jeffrey mengangkat kepalanya dan menghadapku. Mau tak mau aku melihatnya. Dia tersenyum lalu mengangguk. Kemudian saat kepala kami mendekat untuk bertemu secara intim, kami terganggu oleh sebuah suara yang mendekat. Iblis wanita itu, kurang ajar!
"Oh, sorry. Aku ganggu, ya? Aku cuma mau ambil minum di kulkas."
Kami menjeda aktivitas sampai menunggu iblis itu kembali ke kamarnya. Sambil cengar-cengir dirinya mengambil air. Mana lama sekali.
"Okay, silakan dilanjut." Evelyn tertawa lalu kembali masuk kamar.
Aku sudah tidak mood. Lebih baik mendorong Jeffrey menjauh dan bangkit menuju dapur. Melihat Evelyn bisa mengambil air minum dengan santainya, membuatku haus juga. Dia itu hebat, lho. Tanpa membayar uang sewa kamar sebelah, dengan santainya mengambil makan atau minuman di dalam kulkas. Beberapa bahan makanan di lemari dapur juga sering dia olah. Hebat, kan? Lama-lama aku bisa membuka homestay.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...