TUJUH BELAS

1.5K 210 4
                                    

"Menemui Eyang yang calon mertuaku, nggak salah kan?" jawab Jeffrey santai saat aku menanyakan apa urusan dia kemari.

Kami duduk berdua, karena Eyang memutuskan untuk masuk ke dalam meninggalkan kami. Beliau berkata, kami harus menyelesaikan masalah ini berdua saja. Menurutnya keputusan untuk menikah itu harus dua belah pihak, kalau dari awal saja sudah beda suara, maka harus dibenahi di awal.

"Kalian bisa ndak sama gitu, gimana? Yang serius gitu lho, jangan mencla-mencle, iya iya, enggak enggak. Eyang itu berharap sekali dengan kalian, tapi kalau kaliannya begini Eyang ya bingung."

Aku sempat merasakan hawa mencekam tadi, waktu Eyang menatapku tajam. Ya mau bagaimana lagi, aku baru tahu kalau Jeffrey ternyata malah datang kemari lebih awal. Rencananya itu setelah aku datang ke Jogja hari ini, aku akan menemui Jeffrey lagi, lalu meminta maaf kepada dirinya dan jujur akan berkata bahwa aku memilih tidak menerima perjodohan ini karena masih punya akal sehat untuk tidak menjadikan masa depanku sebagai pernikahan bisnis. Tapi ternyata garis tanganku berkata lain.

"Jeff, saya nggak paham dengan jalan pikiran kamu, ya. Kenapa bisa semudah itu yakin dengan ucapan saya?"

"Kenapa mundur lagi Mia?" tanya dirinya dengan alis yang bertautan. "Kenapa menggunakan kata saya lagi? Kemarin waktu bilang mau nikah sama aku, pakainya aku."

Aku memutar bola mataku sesaat. Orang Jakarta dengan budayanya, mudah baper hanya dengan penggunaan aku-kamu.

"Bisa nggak mengalihkan topik? Tahu kan ini lagi genting? Saya dan kamu beda suara dan bodohnya ini sudah sampai ke Eyang. Ini bisa salah kaprah dan gawat."

Jeffrey malah tertawa lalu mencicip jus yang sebenarnya adalah jus milikku. "Kita sudah satu suara. Kamu mau dengan perjodohan ini."

"Jeff.... itu khilaf." Argh!!!

"Kamu nggak khilaf, waktu itu aku lihat keseriusan di mata kamu. Pun dengan ciuman kamu, aku makin yakin kalau kamu serius."

Aku langsung menutup mulutnya yang berbicara sekeras toak pramuka. Dia ngomong tanpa rem di rumah Eyang. "Kamu gila, ya? Saya nggak cium kamu."

Dengan jarak sedekat ini, aku bisa melihat mata biru Jeffrey yang enak dipandang. Dan aku begitu benci mengakui ini, pesona dari matanya begitu menawan.

Jeffrey tersenyum tipis. "Tidak perlu malu untuk mengakui keberanian kamu, Mia. Lagi pula aku suka dengan wanita yang maju duluan. Kata lainnya dominan."

Aku memundurkan tubuhku lalu menjauh darinya. Sedangkan dirinya malah tertawa tanpa beban. Pikiranku yang men-judge bahwa aku telah kehilangan harga diriku memang benar adanya. "Jeff, please, saya serius."

"Saya juga serius."

"Jeff!" sentakku padanya. Demi apapun raut mukanya tidak ada serius-seriusnya sama sekali. "Kita akan menikah kalau kamu dan saya benar menyetujui hal ini, lho. Saya dan kamu dalam sebuah pernikahan, bukan mainan. Kalau kamu selalu bercanda seperti ini saya bisa gila."

"Kalau kamu baru merasakan gila sekarang, kamu terlambat. Saya sudah lebih dulu merasakannya." Raut wajahnya yang tadi selalu tertawa berubah menjadi lurus dan serius. "Apa yang membuat kamu mengubahnya lagi, Mia?"

Harusnya aku selalu ingat kata pejuang Indonesia. Sekali maju maka pantang mundur, apalagi putar balik. Itu memalukan dan tidak ada pendirian.

"Karena saya tidak mencintai kamu, itu yang pertama. Kedua, saya merasa bahwa itu menjadi pernikahan pura-pura saja. Dan saya pikir kalau saya mengiyakan, itu malah jadi pernikahan bisnis. Saya nggak mau."

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang