TIGA LIMA

1.5K 174 28
                                    

"Sumpah, sumpah, jijik banget, asli." Shelin mengernyit. "Masa iya dia berubah haluan jadi penyuka tante-tante, sih? Eh, tapi penasaran juga gue siapa si ceweknya."

Jus mangga kutandaskan habis sebelum melanjutkan cerita perghibahan dengan Shelin. "Ya, gue nggak tahu pasti itu benar tante-tante yang merangkap jadi pacar atau bukan, cuma dari cara Ben merangkul, anget banget kelihatannya."

Ekspresi Shelin kembali mengernyit jijik. Kemarin saat aku melihat adegan Ben di mal, aku juga bersikap sama. Jijik. Suatu kebetulan sekali aku melihat Ben bersama tante-tante. Sedikit terlihat menjijikan, di saat dulu aku melihatnya sebagai kekasih yang normal, sekarang pandanganku jadi berubah. Berhubung Shelin adalah teman sepermainan yang tahu belang busuknya Ben, tentulah aku memberi kabar untuknya. Sekaligus berusaha memutus pikiran Shelin tentang diriku yang belum lepas dari bayang-bayang Ben. Walaupun terkesan seperti menggosip, tapi mengasyikkan. Saat kami berdua kembali siap menggosip, tangan Jeffrey terulur padaku dan mengusapnya pelan di pundak. Seketika aku menggeser diriku hingga ke tepian ranjang. Sensitif memang, tetapi apa yang kulakukan ini memang ada sebabnya.

Dia baru datang dari Makassar siang tadi dan langsung bergegas masuk ke kamar Evelyn untuk memeriksa kondisi wanita itu yang beberapa hari terakhir mengurung diri di kamar. Percaya atau tidak, bahkan aku sudah berusaha bersikap lembut, menawarkan makanan—meskipun delivery atau buatan Tomi—tetapi seakan seperti pembalasan, gantian Evelyn yang menutup diri dan terkesan enggan menemuiku. Terakhir kali saat di mal, Evelyn terlihat begitu pucat. Aku dan Tomi sudah menawarkan pergi ke rumah sakit, tetapi lagi-lagi ditolaknya. Keesokan harinya, juga sama ditolak. Bahkan dibukakan pintu saja tidak. Namun sekalinya Jeffrey pulang, dia langsung membuka diri.

Entah mengapa ... rasanya aku sudah lelah dengan semua drama ini.

"Terus gimana sekarang? Lo berarti udah nggak berharap mau kenal lagi sama Ben, kan? Lo udah yakin kalau Ben itu bangsat. Iya, kan?" tanya Shelin dengan tawa.

Sambungan video call segera kukecilkan volumenya, tanpa earbuds aku kesusahan mengatur suara Shelin yang selalu membesar saat mengucapkan kalimat kotor. Walaupun aku di ujung ranjang, Jeffrey tampak langsung menelisik dan mencoba masuk frame ponselku.

"Iya, begitulah si Ben. Ya udah ya, gue tutup, mau istirahat. Bye." Begitu sambungan terputus, ponsel langsung kumatikan. Niat hati ingin melempar benda gepeng ini ke arah lain, Jeffrey malah langsung menarik dan membukanya. "Nggak ada apa-apa di situ. Sini balikin." 

Dia mengangkat ponselku tinggi, "Seasyik itu ngobrolin mantan sama sahabat?"

Tatapan Jeffrey kuat, tetapi lemah di saat yang bersamaan. Ada gurat lelah dan sedih di sana. Salah tidak jika aku mengindikasikan sebagai rasa cemburu?

"Mia," panggilnya dengan mengembuskan napas kuat. "Jangan ghibah, dosa."

Aku kira dia akan mengatakan, aku cemburu lho, ternyata malah ceramah. Tidak asik. Daripada zonk dan mood-ku jadi semakin buruk, aku memilih mencari sinema Netflix yang belum aku tonton. Meskipun di sampingku Jeffrey berupaya menyentuhku—dalam hal ini menggoda—tetapi aku tidak akan tergoyahkan. Dia pikir kalau aku membalas sentuhannya, aku langsung mau membuka hatiku berbaikan padanya, begitu?

Terlepas dari ketidak sopananku bergosip tentang mantan di belakang Jeffrey, aku masih memasang sinyal perang dingin padanya. Tentu asal muasalnya karena aku yang tidak terima, Jeffrey yang baru pulang dari bandara tanpa istirahat dulu, barang mandi sebentar saja pun tidak, langsung masuk ke kamar Evelyn dan mengunci pintu dari dalam. Kebetulan sekali, saat Jeffrey pulang aku juga sudah di rumah. Jadi aku bisa tahu adegan demi adegan drama tadi. Raut wajah Jeffrey yang sudah lelah, berubah lebih parah setelah keluar dari kamar Evelyn. Tidak lama setelahnya dia masuk lagi dan baru keluar saat ini.

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang