Aduh, pusing. Seharian aku mengurung diri di kamar untuk menikmati istirahat. Rasanya badanku seperti dimasuki angin ribut. Kanan, kiri, atas, bawah, ngilu semua. Terlalu banyak aktivitas dan tekanan pikiran berlebih membuatku lunglai tak bergairah. Lagi-lagi aku juga harus berhadapan dengan dokter. Minum obat lagi, istirahat lagi.
"Ya terus gimana? Kamu nggak pa-pa? Apa Mama susulin kamu di sana aja?"
Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kasur. "Aku nggak pa-pa kok, Ma. Mama nggak usah khawatir."
Sambil terus menonton tv, aku mendengar ocehan Mama lewat sambungan telepon. Hampir dua hari berturut-turut beliau meneleponku tanpa henti. Katanya khawatir. Khawatir anak perempuannya gila. Menikah belum lama tapi gosip gonjang-ganjing keretakan rumah tangga sudah tercium media.
Asal muasal gonjang-ganjing itu dari satu poros. Itu, dia. Yang baru keluar kamar mandi, hanya bermodalkan boxer dan kaus tipis putih, bolong pula. Kemudian duduk di sampingku dengan tersenyum simpul, seakan dunia yang kutinggali ini baik-baik saja. Masih bisa-bisanya dia tersenyum tanpa dosa. Apa Jeffrey tidak memikirkan bagaimana otakku mencerna masalah ini selama tiga hari?
"Ya, barangkali kamu butuh support? Mama bisa ke sana, Mia. Lagian Ayah juga pengin nengok rumah kalian, jadi bisa sekalian gitu, lho."
"Nggak usah, Ma. Nggak pa-pa. Aku baik-baik aja, kok. Lagian seperti yang Mama bilang, suami aku itu orangnya baik, sopan, ramah, menantu idaman Mama, jadi nggak mungkin dia akan jahat ke aku, Ma. Gosip yang kemarin cuma lewat aja. Sekali kita hempas, hus hus sanaaa, Ma."
Jeffrey tertawa mendengar jawabanku. Sengaja kukeraskan memang, agar dia tahu kalau obrolan ini adalah obrolan anak ke ibunya, sekaligus sindirian seorang istri ke suaminya.
"Kamu itu, ditengokin orang tua kenapa nggak mau sih? Kamu nggak kangen sama Mama? Nggak kangen sama Ayah?"
Aku tertawa pelan. Kangen orang tua? Jelas. Ingin bertemu? Oh, tentu saja. Namun membiarkan beliau-beliau datang dan menginap di sini? Oh jangan sampai. Aku masih ingin hidup lebih lama dengan status sudah menikah, daripada diminta bercerai lalu jadi janda, hanya karena Mama tahu ada Evelyn yang ikut tinggal bersama kami. Bisa ngomel sepanjang masa kalau tahu anak perempuan tercintanya bertindak bodoh dengan mempersilakan orang lain hidup satu atap bersama. Satu rumah, satu kepala keluarga untuk dua makmum, hidup bahagia bersama.
Oh, no no, aku tidak mau ada berita seperti itu yang tersebar. Biarlah hanya Tuhan, kami dan beberapa orang yang tahu tentang keberadaan Evelyn. Selebihnya, jangan sampai ketahuan.
"Ya, sudah, kalau gitu. Mama tutup dulu teleponnya, sekarang kamu istirahat, biar badannya enakan, terus ngobrol sama Jeffrey. Masalah kecil itu diselesaikan, bukannya malah dibesarkan. Ingat itu, ya."
Setelah Mama memutus panggilan, aku berpindah membuka riwayat chat WhatsApp, melihat grup sebentar, lalu berpindah mengintip Instagram, kemudian mematikan ponselku. Aku tipe manusia yang menghargai waktu intim berdua dengan siapapun. Dalam prinsipku, jangan sering pegang ponsel ketika dirimu sedang duduk berdua dengan orang lain. Apalagi di antara kalian sedang ada masalah yang cukup memancing pertengkaran. Lebih baik segera diselesaikan agar masalah tidak berlanjut. Terlebih jika masalah itu berkaitan dengan pasangan hidupmu. Padamkan apinya segera agar tidak menghanguskan seluruh rumahmu.
"Kamu mau apelnya lagi?" Jeffrey membawa piring apel ke atas bantal yang dia pegang.
"Aku nggak mau apel. Aku maunya ngobrol masalah yang kemarin sama kamu."
Di sampingku, aku mendengar Jeffrey mengembuskan napas panjang. Membetulkan posisi duduknya sebentar, lalu kembali menaruh apel ke atas meja, Jeffrey mengambil tanganku ke dalam genggamannya. Tiga hari adalah waktu yang singkat, tapi lambat, untuk meredam kasus foto laknat bin sialan itu. Lepas aku melihat foto di Twitter saat itu, lokasi syuting langsung bersikap sedikit berbeda kepadaku. Aku tahu maksud mereka mungkin baik? Menjaga jarak agar tidak terlalu menyinggung diriku. Namun, beberapa dari mereka tetap masih ada yang terang-terangan menggosip. Sesekali mereka juga memicing lalu menggeleng. Seperti merasa kasihan kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...