EMPAT BELAS

1.5K 198 7
                                    

Mata Jeffrey memang menatapku, tapi tidak berlebihan hingga aku sampai dinyatakan hampir meninggal. Tidak. Yang ada hanya kediaman dirinya selama beberapa saat dan perlahan-lahan mulai melirik ke kanan ke kiri melihat situasi dan kondisi sekitar. Seperti mendapat bisikan ghoib, Jeffrey berulang kali memasang wajah terkejut, takut dan seakan terintimidasi. Hebat 'kan? Hanya dengan lima kata aku mampu membuat pemilik restoran ini terkejut hebat.

Aku menunggu dirinya bersua, setidaknya satu atau dua kalimat terucap. Aku menunggu, tapi tidak ada respon.

Ya Tuhan, aku tahu dirinya shock, akupun juga begitu, tapi tolonglah harga diriku ini jadi taruhan. Berbekal keyakinan dan semangat tidak tahu malu, aku menjilat ludahku sendiri karena datang kemari. Untuk diriku yang dalam hal ini seperti melakukan perjalanan spiritual, ini benar-benar terasa mencekam. Bayangkan saja waktu bergulir tidak ada satu bulan, tapi keputusanku berubah begitu cepatnya. Bahkan aku menurunkan harga diriku dengan mandatangi pria lalu mengatakan hal tadi. Gila 'kan? Ini semua karena postingan sialan si—

"Kenapa?" tanya Jeffrey membuyarkan lamunanku dan diamnya kami. "Kenapa begini, Mia?"

Aku tergagap sesaat lalu mencoba menenangkan diri. Ayo, Mia, jangan sampai gagal. "Ya ... ya kan kamu udah mau dengan perjodohan ini. Ya kurang ajar aja kalau aku menolak." Aku menjawab namun sama sekali tidak menatap Jeffrey yang sekarang ini terpaku padaku. Aku begitu takut melihatnya.

"But why? Saya bahkan belum bergerak lagi setelah pertemuan kita yang terakhir, kenapa begitu cepat? Kenapa kamu bisa mengubah pandangan kamu, jawaban kamu dan bahkan cara bicara kamu secepat ini kepada saya?"

Lah? Apa iya begitu? Kenapa aku tidak sadar? "Ya adalah. Pokoknya yang terpenting dan terutama aku sudah mengatakannya kepadamu. Aku setuju untuk perjodohan kita yang dirancang Eyangku. Titik."

Aku mengakhiri ucapanku dengan satu ketukan tegas di meja. Aku yakin Jeffrey akan mengerti. Namun sayang, balasannya tidak sesuai dengan ekspektasiku. Aku benci mengakui ini, tapi jangan pernah menggantungkan keinginanmu pada ekspektasi, karena realitanya begitu menyakitkan. Pasti berbeda.

Yang aku harapkan adalah Jeffrey yang langsung menerima tanpa banyak pikir, tapi yang ada malah dia tetap diam dan sesekali tersenyum, terkikik dan berulang kali mendengkus seperti mencium bau-bauan yang busuk. Aku pakai parfum lho ini, masa iya baunya aneh?

"Jef, aku nungguin lho. Diam-diam aja, jawab dong."

Jeffrey mengambil napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia kemudian menggeser minumanku lebih ke pinggir lalu menciptakan ruang kosong di meja untuk tangannya bersedekap. Apa posisi itu kebiasannya?

"Sebelum saya semakin penasaran dengan kamu, sekali lagi saya bertanya, kenapa? Kenapa kamu bisa mengubah ini begitu cepat."

Kami berdua bertatapan, tidak ada sedikitpun yang mengalihkan pandang. Aku bahkan menyelami mata birunya yang aku akui indah sekali. Persilangan jawa-bule memang mempesona.

"Kamu bilang kita ada kerja sama 'kan? Kerja sama yang berupa tawaran, tawaran yang menguntungkan ketika kita menikah nanti. Bukan begitu?" Aku berusaha membuat nada bicaraku sekuat mungkin. Pun saat melihat alis matanya bertaut, aku yakin dia mulai memikirkan perkataanku dengan keras. "Ya sudah aku ambil itu. Aku ambil tawaran kamu untuk pernikahan kita nanti."

Demi jantungku yang sedang bekerja hebat, ini momen-momen krusial dalam hidupku. Dengan semua ucapanku yang akhirnya—seakan—mengatakan bahwa aku menyetujui perjodohan ini karena tawaran kerja samanya hal itu pasti membuatku akan dipandang Jeffrey sebagai wanita materialistis, tapi sejujurnya aku juga tidak bisa membohongi diri. Dengan semua benefit yang aku dapat nanti, apalagi terkait pekerjaan, siapa juga yang tidak mau? Itu semua menguntungkan, aku tidak bisa menampik.

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang