Mama menelisik dari satu ruangan ke ruangan lain selagi aku menyajikan kue ke atas piring. Beliau mengatakan jika apartemen ini bagus—sangat malah—ketimbang milikku yang dulu. Namun sebagus apapun apartemen kalau hanya ditinggali dua orang saja, rasanya masih ada kurangnya, kata Mama begitu. Iya saja sudah biar cepat.
"Kok kamar yang itu nggak bisa dibuka sih? Engselnya rusak?" telisik Mama entah beliau ada di kamar yang mana.
Kue yang tadi dibawa Mama sudah sepenuhnya tersaji ke atas piring. Kue dari, oleh, untuk Mama. Beliau kemudian menghampiri dan duduk bersisian denganku di sofa tengah. "Kamar yang mana, Ma?"
"Itu."
Aku berusaha meredam serak mendadak di tenggorokan. Mama menunjuk kamar Evelyn. Terbiasa jujur, kadang kalau harus menutupi belang, jadi terasa kaku. "Itu jarang dipakai, Ma. Makanya agak susah gitu dibukanya," bohongku.
Mama memicingkan mata saat aku meringis menanggapi. Sudah seperti tebakkanku, jika Mama berkunjung pasti salah satu yang dilakukan adalah inspeksi kebersihan dadakan. Dulu waktu masih tinggal bersama, Mama acap kali datang ke kamarku tiba-tiba dan menilai ini itu kebersihan kamarku. Jangankan sudut ruangan, dalam lemari, bawah ranjang, balik meja juga diperiksa. Awalnya aku merasa baik-baik saja dengan sikap Mama yang se-intens itu bebersih rumah, tapi lama-lama kupikir, apa beliau punya OCD ya?
"Dibenerin, dong. Masa iya apartemen sebagus ini, pintu kamarnya rusak?" tanya Mama dengan mata yang berganti menelisik dapur. "Jangan-jangan kamu bohong, ya? Bukan pintu rusak, tapi dalamnya kotor nggak kamu bersihin?"
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, masih lanjut. "Nggak, Ma. Bersih kok dalamnya."
Iya sih, memang, aku berbohong tentang pintu rusak, tapi aku tidak bohong kalau dalamnya bersih. Ya bagaimana tidak bersih, Evelyn sering sekali bebersih kamar—karena dia tidak punya kerjaan lain—jadi aku yakin kamar itu bersih. Namun, alasan tidak mau membuka pintunya, karena barang-barang Evelyn masih banyak yang ada di sana. Bisa gawat jika Mama tahu bahkan curiga ada barang yang tersebar di satu kamar full. Sedangkan jika beralasan itu barang punyaku, oho no way. Aku memang suka dengan dress-dress cantik, tapi seluruh baju Evelyn bukan style-ku. Maka dari itu aku yakin sekali, jika Mama masuk ke sana bukan inspeksi kebersihan saja, tapi bisa saja jadi inspeksi keutuhan rumah tanggaku. Seperti yang dilakukan beliau saat ini.
Oh, iya. Jika kalian mencari Jeffrey saat ini, dia tidak ada. Dia dibawa Ayah, entah ke mana. Mungkin disidang. Entahlah.
Mama mengambil posisi duduk sepenuhnya menghadapku. Ini kalau tidak karena obrolan serius, pasti tidak akan begini. Kalau akunya malah sambil makan kue sopan tidak ya? Aku lapar sekali, belum sarapan.
"Mia, kamu nggak pa-pa, kan?" tunjuk Mama.
Aku mengangguk.
"Udah nggak sakit?"
Sakit sih masih, ada pusing-pusing dan mual gimana gitu—efek tadi pagi aku hampir meledak karena bantah-bantahan dengan Jeffrey dan belum sarapan pula. Oh, anyway, Evelyn sudah aman di apartemenku tepat saat Mama tiba di lobi bawah. Luar biasa.
"Jangan geleng-geleng doang. Yang Mama tanya itu, bukan sakit badan anget, tulang ngilu, kalau itu sih kamu biasa. Yang Mama tanya, psikis kamu, kamu baik?"
Astaga. Kok tanyanya begitu. "Ma ..., Alhamdulillah aku sehat. Baik lahir maupun batin, sehat jasmani rohani. Nggak sakit kok, Ma." Cuma kadang sedikit letoy kalau sedang kecapekan. Semua manusia juga begitu sepertinya.
Gantian Mama yang menggeleng. Insting ibu yang melahirkanku, hebat. "Nggak ada wanita yang 'nggak pa-pa' kalau diterpa isu kayak kemarin."
Inilah yang kutakutkan jika Mama datang, apalagi setelah foto-foto Jeffrey kemarin. Aku takut jadi beban pikiran orang tuaku. Sudah sedewasa ini, tapi masih jadi beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...