New year eve, kalian di rumah aja kan?
Stay save, Nak.
•°•°•
Duduk bertiga seperti ini mengingatkanku pada diskusi terakhir dengan Tomi dan Mayang. Mereka berdua meminta libur saat aku sedang pergi ke Jogja saat ini. Mumpung aku tidak mau ditemani, mereka meminta izin untuk pulang kampung sebentar. Katanya begitu. Aku iyakan sajalah, biar mereka puas. Toh benar tidaknya bisa aku cek nanti. Dan tentang Tomi dan Mayang, lain waktu akan kuceritakan siapa mereka sebenarnya. Karena saat ini otakku tidak mampu memikirkan hal lain dulu. Karena tatapan mata Eyang memang ke arah taman, tapi aku tahu dia sedang menyiapkan banyak pertanyaan untuk kami.
Aku dan Babas.
Dengan gaya parlentenya, Babas pulang entah dari mana dan langsung ikut duduk bersama kami. Bau rokok dan alkohol tercium dari dirinya. Percaya atau tidak bahkan hari belum menggelap tapi dia sudah setengah waras.
Aku berbisik pelan pada Babas sebelum Eyang mulai membuka suara, "Lo udah cerita apa aja?"
Babas menggeleng. Meskipun dia berusaha membuat raut wajah serius, tapi aku masih bisa merasakan cengiran yang menyembul keluar.
"Bas, kerjaanmu gimana?" Eyang memulai.
Babas tersenyum lalu meneguk air putih yang ada di atas meja. Menghilangkan bau alkohol di hadapan Eyang pasti sulit. "Lancar, Eyang."
"Syukurlah."
Aku sudah pernah bercerita belum kalau keluarga besarku itu, alhamdulilah, berkecukupan. Bukan maksud sombong, tapi kenyataannya keturunan dari Eyang Brata adalah orang yang berada. Ya bagaimana ya, anak Eyang Brata itu 3 bersaudara laki-laki semua, Ayahku adalah anak terakhir. Para kakaknya atau Pakdeku dan keturunannya, masing-masing dari mereka memiliki usaha sendiri.
Seperti Seno, keluarganya memiliki mall yang tersebar di beberapa wilayah. Kalau Babas, aku lupa pastinya, tapi dia menjadi pemilik salah satu hotel ternama di Jakarta dan beberapa kota lain. Papanya adalah anak pertama dan menurutku Pakde Tegar adalah yang ter-wah di antara yang lain. Jadi aku kesulitan menghitung berapa besar jumlah kekayaannya. Dan untuk keluargaku ... lain kali saja aku ceritakan, kalau dari sekarang kuceritakan, takut riya. Lebih baik kalian tahu sendiri saja. Ehe.
"Kalau kamu, Nduk?"
"Alhamdulillah lancar juga, Eyang."
"Berarti sekarang mulai nerusin Blarerizh?"
Aku menggeleng pelan menanggapi Eyang. Blarerizh adalah butik milik Mama yang sudah beliau pegang sejak entah kapan tahun, sebelum aku lahir mungkin sudah ada. Dan jika ditanya ingin meneruskan atau tidak, aku belum ada pikiran ke sana. Kecakapanku untuk mengatur usaha, minus. Lebih baik seluruh usaha orang tua biar diasuh oleh Mas Rama—kakakku. Daripada aku yang mengasuh lalu bangkrut, lebih baik diberikan kepada dia yang sudah berpengalaman.
Eyang mencebikkan bibirnya lalu mesem. "Sudah harus dipikirkan itu. Masa iya Mamamu mau sampai sepuh mengurus butik? Lebih baik gantian kamu." Eyang berseloroh santai, aku yang deg-degan. "Toh kalau kamu yang mengurus butik, Mamamu pasti lega, nggak akan ada rasa khawatir. Lagian masa iya sampai nanti tua kerjaanmu di-shoot kamera terus?"
Gantian aku yang mesem. Asem.
"Apalagi nanti kalau sudah menikah, kerja yang banyak aktivitas luar, kamu kurangi. Baiknya di rumah aja."
Nah ini. Ini yang sudah bisa kutebak dari pesan rindunya eyang. Ngomongnya ngalor ngidul. Membuatku dan Babas pasang muka tembok.
"Mia belum ada niatan menikah," ungkapku pelan. "Masih nanti saja, Eyang."
"Kamu bilang gitu karena kamu baru putus 'kan?"
Pertanyaan Eyang membuatku diam. Kemudian melirik Babas yang langsung menipiskan bibirnya. Aku juga memberi tatapan padanya, kok Eyang bisa tahu?
Belum sempat aku membela diri, Eyang kembali membuka mulutnya, "Pacarmu yang sudah 3 tahun itu, kemana? Kalian putus 'kan? Bukan break kayak yang kamu gemborkan di youtube-nya teman-temanmu. Iya, kan?"
Aku mengerjapkan mata. Eyang dan YouTube kenapa bersahabat? Sebuah kesalahan telah memberikan Eyang gawai dan memberitahukan bagaimana cara akses aplikasi video itu. Tapi yang lebih salah lagi kenapa aku harus mau menjadi narasumber di youtube temanku lalu membahas tentang kehidupan percintaanku setelah foto-fotoku di akun Instagram Ben hilang sejak setengah tahun lalu.
"Itu anu, Eyang ..."
"Anu apa? Anunya Baskara kerja terus tiap minggu?" balas Eyang membuatku diam dan Babas shock. Eyang terlalu frontal. Koreksi sedikit, Eyang, yang benar bukan tiap minggu, tapi 2 hari sekali kerjanya.
"Begini Mia ... Bas ..." Eyang menghela nafas dalam sebelum menatap kami bergantian. "Eyang ini sudah tua, sudah penginnya cuma lihat anak cucu bahagia. Dari garis keturunan Bratasena hanya tinggal kalian berdua yang masih lajang—"
"Apa hubungannya, Eyang?" Yang tanya bukan aku, tapi Babas. Akhirnya Mario Maurer versi sedikit gelap itu mau buka suara. "Kebahagiaan Eyang dengan lajangnya kami?"
"Ya ada. Kalau kalian lepas masa lajang, itu bisa membuat eyang tambah bahagia. Jadi eyang mau mengenalkan kalian dengan cucu teman eyang yang masih lajang juga gitu lho."
Konsep dari mana itu?
Aku ingin sekali bersuara tapi Babas lebih dulu menyahuti. "Tapi untuk aku, itu masih terlalu jauh, Eyang. Aku masih ingin mengejar karir."
Aku sedikit mendelik kepada Babas yang memilih menggunakan kata aku daripada kami. Kenapa aku tidak diikutkan?
Eyang tampak menyunggingkan senyum mengejek. "Halah alasan kamu saja. Kamu pikir, Eyang ndak ngerti? Alasanmu sibuk kejar karir karena cuma malas mengurus pernikahan di luar negeri kan? Udah pokoknya Eyang mau mengenalkan Mia dengan cucu teman eyang."
"Loh, nggak bisa begitu, Eyang." Aku menolak. "Aku sama Babas masih tuaan Babas, harusnya dia dulu yang dikenalkan dulu ke cucu teman Eyang, bukannya Mia."
Aku menghargai dan menghormati Eyang. Tapi kalau sampai sejauh ini, mana bisa aku tinggal diam? Luka hatiku karena Ben saja belum sembuh betul, mana bisa dengan mudahnya Eyang mengenalkan pria lain? Apalagi kalau Eyang sudah menambahi kalimat dengan relasi pertemanannya, itu pasti sakral.
"Cuma kenalan dulu Mia."
"Maaf, Eyang. Aku nggak bisa." Dari dudukku aku melihat Eyang dan Babas yang terdiam. Ini pasti rumit.
"Aku cuma mau melihat cucu kita bahagia kok sulit banget rasanya," keluh Eyang. "Kalau begitu lebih baik aku segera menyusul kamu, Mas."
"Eyang!" teriakku dan Babas bersamaan. Dia bahkan hampir meloncat. Jurus andalan Eyang ketika kami bebal, berbicara dengan Almarhum Eyang Brata. Kalau begitu cucu mana yang tidak pusing?
Sesaat aku melihat Eyang tersenyum, tipis sekali. "Kalau kamu mau, nanti Eyang teleponkan ke dia."
Meskipun hatiku tidak rela tapi aku terpaksa mengangguk. Ini pelanggaran HAM, harusnya aku tidak boleh menyerah begitu saja. "Kenapa cuma Mia? Babas harusnya juga."
Sekelebatan mata aku melihat Babas hampir mengumpat, namun tertahan karena Eyang sudah berdiri dari kursinya. Beliau pasti ingin menanggapi ucapanku.
"Sudah kamu saja dulu, Eyang yakin calon dari Eyang lebih baik dari mantanmu itu. Kalau buat Babas, mau menikah dan kawin sekarangpun mana bakal jadi bayi? Iya kan, Bas?"
•°•°•
祝你们新年快乐!(つ≧▽≦)つ❤️
Semoga 2021, kita selalu diberi kesehatan dan dunia bisa pulih kembali.
Kalau kalian? Apa harapan kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
MIAMOR | SELESAI
Romance"Anda siapa?!" "Evelyn, just call me Eve. Saya pemilik tempat ini. Kamu sendiri siapa?" Demi keturunanku yang hingga tujuh turunan selalu bergelimang harta, bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Apa dia tidak tahu kalau aku adalah istri dari pemil...