DUA BELAS

1.5K 176 1
                                    

Menempelkan ponselku ke telinga, aku berupaya mengambil jus dari dalam kulkas. Karena sedang tersambung telepon dengan Mama, aku pastikan tidak terputus di tengah jalan. Mama rencananya akan kembali ke Bali nanti malam, sebagai anak yang baik tentu aku harus mengantarnya dan memberi ucapan hati-hati, walau lewat sambungan telepon.

"Kalau memang kamu nggak bisa sama Jeffrey, Mama juga nggak memaksa lho, Ya. Pada akhirnya yang menikah itu kalian, jadi Mama rasa kurang pas kalau Mama ikut campur."

Sambil mendengar wejangan slash ocehan Mama, aku mencicip masakan Tomi yang tersaji di atas meja makan. Gahar nan hot begitu, tangan Tomi bisa menghasilkan masakan yang jauuuh lebih enak dari punyaku—ya karena aku tidak pernah melakukannya—bahkan Mayang yang juga punya hobi masak saja mengakui kelihaian Tomi. Kalau tahu dia hebat begitu, lebih baik mendaftar master chef daripada bekerja denganku.

"Kamu dengar Mama nggak sih? Kok kayaknya ada suara nyueng-nyueng gitu, kamu lagi makan ya?"

Aku menelan cepat dumpling lalu menyambut kembali suara Mama dengan sumringah, "Enggak kok, Ma. Enggak lagi makan. Dan aku dengar kok, Ma. Intinya Mama udah hopeless dan membiarkanku memilih jalanku sendiri kan? Mama nggak akan koreksi aku lagi, apalagi terkait hubungan percintaanku, lebih-lebih nyangkut ke perjodohan Eyang. Mama lepas tangan 'kan? Gitu kan?"

Aku tersenyum di sela kalimat panjangku, walaupun setelahnya mendengar decakan dari seberang sana.

"Mama tuh pusing, Eyangmu WA Mama terus buat mojokin kamu sama si Jefrrey itu. Bukannya gimana, cuma kamu sendiri ajalah yang ngomong ke beliau, kalau memang nggak bisa. Nanti pasti Eyang mengerti kok. Mama cuma nggak mau kalau kebanyakan drama gini malah repot nanti jadinya. Mau mau, enggak enggak gitu lho."

Merebahkan diriku ke sofa aku mulai menyalakan tv dan menyahuti kembali ucapan Mama. Aku jelaskan semua tentang penolakanku beserta argumennya dan insha Allah akan tersampaikan nanti setelah aku kembali menghadap Eyang dengan mantap. Rencananya setelah nanti pemotretan di Candi Prambanan, aku akan melipir sebentar sampai dan pasti akan mengatakannya ke Eyang. Live, langsung dan intim. Pokoknya aku akan meyakinkan Eyang nanti.

Setelah teleponku dengan Mama terputus, aku tidak bisa dengan mudah menikmati serial Netflix yang baru saja kubuka. Di ujung sana Tomi baru saja kembali entah dari mana dan langsung duduk, pun memberiku tatapan serius. Ada dua kemungkinan jika Tomi begini. Satu, dia akan menyidangku karena sebuah kesalahan yang kuperbuat. Dua, dia akan mengatakan kalau aku kehilangan beberapa projek kerjaku dan biasanya juga karena kesalahanku. Intinya Tomi akan begini ketika aku salah. Sama seperti Abang yang menyidak adiknya.

"Apalagi, Tom? Daripada alis berkerut, muka ketekuk, mending pijitin gue sambil nonton ini." Money Heist-ku masih belum selesai.

Aku melihat Tomi mengambil napas panjang sebelum mulai menyerangku dengan ucapan pedasnya. Baiklah, aku siapkan telingaku.

"Mia," panggilnya. Dari ujung sana mendekat kepadaku dan bersimpuh dengan melasnya. "Bisa nggak lo kali ini aja mengalahkan ego lo dan mengiyakan semua kata gue?"

Aku mendelik. Tomi akting atau bagaimana? "Lo ngapain sih? Bangun nggak?"

Dia bangkit lalu duduk memangku kakiku. Iya, aku masih tiduran dan kakiku berada di pahanya, pun aku merasakan sedikit pijatan di sana.

"Ini soal Jeffrey."

Aku bangkit dari rebahan lalu menghadap Tomi lekat. Gaya dudukku sudah seperti sumo yang siap menerkam mangsa. "Gue bantai lo ngomongin dia."

Kemarin itu masa yang riskan untukku. Syukurlah orang yang memotret tanpa izin, mau menghapus fotonya dan berjanji tidak menyebarkan di internet, apalagi masuk ke lambe-lambean. Tapi sayang seribu sayang, setan seribu setan, setelah Shelin kembali bisa-bisanya dengan murah dan bangga hatinya, si Jeffrey itu memberi tahu Shelin tentang rencana Eyangku.

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang