EMPAT

2.6K 286 4
                                    

Mendarat dengan selamat di Jakarta tidak membuat rasa berat di dadaku menghilang. Malah terasa semakin kencang. Menghabiskan 3 hari di Jogja ternyata malah berujung  dua setengah hari di rumah Eyang dan sisanya habis untuk keliling Malioboro, padahal rencananya aku juga ingin mengunjungi Kaliurang. Tapi ternyata malah gagal. Sebab seperti yang kuduga, beruntuntan pesan dari Tomi membuatku harus menunda niatan itu. Malam yang sama saat aku menghabiskan waktu dengan Babas, di saat itu pula sebuah foto tersebar di akun gosip lambe-lambean. Dan seperti yang kuduga caption mereka mengandung pertanyaan yang dapat menggiring opini publik.

@lambemumingkem Mamamia oh Mamamia, si enengnya udah ada gandengan baru? Sini dong bisikin itu siapa, mindut kepo nich...

Sepanjang jalan dari bandara menuju apartemen aku memilih diam dan menunduk saja. Tomi sudah mewantiku untuk tidak membaca komentar dan lebih baik jauh-jauh dari ponsel. Daripada aku emosi dan jadi runyam. Walaupun aku sadar, aku belum jadi artis mega bintang. Tapi cita-citaku tetaplah menjadi idola banyak orang. Kalau satu masalah saja sudah bisa membuat karirku hancur, maka sudahlah lebih baik aku menyepi.

Aku masih ingat saat kami—aku dan my fuckin ex boyfriend, Ben—go public di media sosial bahwa kami telah berpacaran, beribu komentar datang menyerbu kami. Terutama komentar untukku. Entah kenapa bisa, hanya segelintir orang saja yang mengatakan Ben numpang tenar, tapi sejuta cacian dan umpatan aku yang menerima. Padahal yang lebih terkenal kan aku. Waktu itu banyak yang mengatakan bahwa aku hanya mengeruk harta dari Ben karena keluarganya punya pertambangan minyak di Kalimantan.

Hello? Yakaleng!

Maksudku bahkan tanpa berpacaran dengan Ben, keluarga Bratasena sudah kaya dari sananya, aku tidak akan meminta uang dari Ben. Ish, kesal kali aku. Aku juga masih ingat betul kata-kata yang diungkapkan netizen dan hampir 85% adalah fitnah. Gila kan? Awas saja nanti ketika di pengadilan tertinggi di depan Tuhan akan kuminta pertanggungjawaban.

"Turun, langsung ke atas, nggak usah belok-belok ke Starbucks. Kalau mau kopi bilang gue aja, gue yang ke sana."

Biasanya Tomi akan bicara menghadapku, tapi kali ini dia tetap pada pendiriannya lurus menghadap ke depan. Dia marah padaku. "Iya."

Tomi adalah manajerku, dia yang mengurus pekerjaanku. Tentang foto yang kemarin tersebar saja, dia yang meredakan bola api itu. Walaupun spekulasi publik sempat memanas, tapi akhirnya kejelasan bahwa pria itu adalah Baskara aka sepupuku terjawab sudah. Namun, jika aku pikir bola api itu akan hilang, ternyata tidak. Perkiraanku salah. Bola api itu malah kian menggelinding dengan kencangnya. Hingga tersangkut pada sebuah rumor bahwa aku gagal move on dari Ben hingga berakhir kobam.

Kalau beritanya jahat seperti ini aku langsung membenci media. Tapi tanpa media namaku tidak akan mengudara. Lalu harus bagaimana?

Memasuki unit-ku, aku menemukan Mayang yang memberiku senyum hangatnya. "Mba Mia, gimana Jogja?" tanyanya saat meraih jaketku.

Aku benci mengakui ini, tapi panggilan dari Mayang terdengar lucu di telingaku. Seperti menyambung kata Mbak dan Mia bersamaan, itu menggemaskan. "Ya nggak gimana-gimana." Aku menjawab sekenanya, toh memang tidak ada yang spesial. Malahan yang ada hanya kemalanganku.

"Padahal kata orang, Malioboro itu tempat yang paling mantap di Jogja lho, belum ke Jogja kalau belum ke Malioboro. Masa iya nggak berkesan?"

Ucapan Mayang membuatku tertawa sebentar. Kata siapa semua itu? Menurutku orang belum ke Jogja kalau belum menemui Gubernurnya. Harusnya kan begitu.

"Mia nggak kemana-mana." Suara enak Tomi menyeruak masuk. "Gue suruh di tempat Eyangnya aja, nggak kemana-mana. Pergi beberapa hari aja udah masuk akun gosip lagi di cafe, untung yang difoto bukan pas lo lagi kobam parah, coba kalau lagi gitu, bisa habis lo," tambahnya sambil menaruh tiga gelas kopi ke atas meja.

MIAMOR | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang