One's True Nature

224 62 5
                                    

Saat dalam situasi yang genting, sifat dan kemampuan asli seseorang akan terbaca dengan sangat jelas. Banyak orang yang egois memikirkan keselamatannya sendiri, tapi tak sedikit juga orang yang berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan orang lain, bahkan meski itu mempertaruhkan nyawanya sendiri. Aku rasa, ini tak jauh berbeda dengan yang dilakukan Tante Natashia hari itu.

Namanya Natashia Sasikirana Heidi, seorang ibu muda berumur 25 tahun yang memiliki gelar sarjana sebagai guru Sekolah Dasar. Awal kami melakukan perjalanan bersama, ia tampak seperti wanita lemah lembut, penakut, mudah panik, dan dengan mudahnya seseorang akan berpikir bahwa ia adalah beban. Tapi, hari kedua kami bersamanya, saat dihadapkan dengan segerombol Zombi Tipe I dan II, barulah sifat aslinya terlihat dan membuat kami tercengang.

"Saya mau ikut kalian ke Surabaya. Mungkin di sana saya bisa memulai hidup baru dengan lebih baik," tuturnya saat kami bertanya alasannya memilih ikut dengan kami.

Sebelumnya, kami pergi ke rumah Tante Natashia yang ternyata berada di kompleks pengungsian itu. Katanya, ia ingin mengambil beberapa barang, jadi kami mengikutinya, sekalian beristirahat satu malam di sana. Dan pagi hari ketika kami hendak meninggalkan rumah itu, kami terkejut karena barang-barang yang dibawa olehnya, yaitu sebuah busur dengan 24 anak panah berujung besi runcing yang tampak dipoles dan ditajamkan rutin, lalu sebuah senapan jarak jauh dengan scope yang tampak mahal dengan lima kotak peluru kaliber kecil dan lima kotak peluru kaliber besar yang tampaknya bukan untuk diperjual-belikan dengan bebas.

"Saya atlet memanah, dan suami saya atlet menembak," begitu kata Tante Natashia saat tahu kami tercengang melihat barang-barang yang dibawanya.

Kami sudah berjalan empat jam dengan empat kali berhenti, dan kami sudah berada di Marga Jaya, tepatnya kami baru melewati Metropolitan Mall Bekasi. Dan, saat ini kami baru saja melanjutkan kembali perjalanan kami ketika segerombol Zombi Tipe I dan sejumlah Tipe II di antaranya tengah bergerak ke arah kami.

"Ah?!" seru Tante Natashia ketika segerombol zombi itu bergerak cepat ke arah kami. "Ki-Kita kemana, nih?" tanyanya, terdengar panik.

"Hotel!" seru Kak Galaksi tanpa meninggikan suaranya. "Ayo!" Ia pun memimpin kami. Di belakangnya, Tante Natashia berlari dengan barang bawaannya yang tampak berat, tapi hebatnya ia masih bisa berlari lincah.

Aku pun berlari menyusul mereka dari belakang. Langkahku tak bisa secepat mereka, nafasku bahkan sudah sesak meski baru beberapa meter berlari. Sesekali Kak Galaksi berhenti untuk memastikanku menyusul. Tapi, pada akhirnya ia kembali dan membantuku berlari semaksimal mungkin, membuat Tante Natashia tiba lebih dulu.

Meski sudah berkunang-kunang, aku melihat Tante Natashia mempersiapkan senjatanya, senapan jarak jauh milik suaminya. Ia langsung memposisikannya dengan tubuh tegap berdiri. Lengannya menyanggah laras panjang dan bobot senapan itu, lalu mengintip dari balik scope. Aku bisa melihat ia mengarahkannya pada kami. Aku yakin ia tak mengarahkannya pada kami, tapi aku takut ia salah sasaran.

"Kak..."

Kak Galaksi baru saja memutar kepalanya ke belakang, membuat langkah kami agak melambat. "Sh*t. Mereka yang Tipe II makin deket." Ia pun mendorong tubuhku agar langkah kami semakin cepat.

Psyiuuu! Bruk!

Sebuah peluru melesat cepat di samping kanan wajahku, mungkin jaraknya hanya satu jengkal dari pipiku. Jika aku sempoyongan ke arah sana, kepalaku pasti akan berlubang seperti Zombi Tipe II yang tubuhnya terpental menubruk zombi di belakangnya. Mataku terbelalak dan aku tercengang antara kaget dan takut.

"Woah!" gumamku.

"Cepet ke sini! Jangan bengong!" seru Tante Natashia dengan nada emosi.

Well, aku terkejut saat ia berbicara dengan deep voice-nya yang bulat. Kesan wanita dewasa yang lembut dan hangat, serta tampak lemah darinya itu langsung lenyap begitu saja.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang