Aku kira, aku akan dibuang. Aku sudah siap jika aku dibuang, ditinggalkan, atau dibunuh oleh orang-orang yany kupercaya. Bagaimanapun juga, aku sudah berubah menjadi monster. Aku menghisap darah manusia, jadi aku berbahaya untuk mereka.
Saat aku membuka mata, yang kulihat adalah langit malam hari dan sekelilingku gelap. Aku mendengar percikan api, dan itu membuatku menoleh. Agak jauh, tapi aku bisa melihat sebuah api unggun dengan empat orang mengelilinginya yang duduk memunggungiku. Tak perlu dipastikan lagi, siluet itu khas sekali milik Kak Galaksi, Tante Nat, Rei, dan Jay, aku hafal betul bentukan mereka bahkan hanya siluetnya. Refleks, aku menarik kedua sudut bibirku.
Setidaknya, aku berpikir mungkin mereka akan mengikatku untuk memastikan aku tak menyerang mereka. Tapi, kenyataannya, aku malah dibungkus rapi dengan sleeping bag yang hangat. Tak ada pengekang. Padahal, sebelumnya Kak Galaksi bahkan tak mempercayaiku. Tapi, mungkin Jay yang meyakinkan mereka. Membayangkan Kak Galaksi tak mempercayaiku lagi sungguh menyakitkan.
"Kak - Uhuk! Uhuk!" Tenggorokanku sakit sekali, nafasku pun sesak. Padahal, aku hanya mencoba untuk bicara. Mungkin ini efek muntah gumpalan darah kemarin. Sakit sekali, sampai rintihanku pun lolos.
"Alya!" seru Kak Galaksi cemas.
Aku mendengar mereka bergegas menghampiriku, meninggalkan api unggun yang hangat. Mereka berlutut, duduk, atau bersimpuh tak nyaman mengelilingiku dari jarak dekat. Aku yang masih mencoba menghentikan batukku pun tahu bahwa mereka berada dalam jarak yang amat sangat dekat. Mereka benar-benar tak berpikir aku adalah ancaman.
"Minum -"
"Huek!" Lagi-lagi aku muntah, bahkan sebelum aku mencoba menenangkan tenggorokan yang bergejolak dengan segelas air. Aku bahkan tak bisa menahan muntahan itu dengan tanganku. Muntahan yang hangat dan kental, serta aroma amis yang khas sekali bahwa itu adalah darah. "Darah?" lirihku, laku kembali mengalami batuk.
"Jangan bicara." Kak Galaksi di kananku mencoba menenangkanku dengan mengelus-elus punggungku. "Dari kamu pingsan setelah menghisap darah Jay, kamu terus mengalami batuk darah. Bukan darah segar, tapi darah kental dan gelap. Kemungkinan besar, ini efek kamu menghisap darah manusia yang sedang terinfeksi A-Tears. Aku nggak tahu harus gimana, tapi aku menyuntikkanmu dengan vitamin K1, dan sepertinya itu berhasil mengurangi gejala batuk darahmu," jelasnya dengan baik.
Aku mengangguk, lalu aku menatap Jay yang berada di depanku. "Jay, kamu nggak apa-apa? Lukamu gimana?"
"Bukannya, kamu harus mikirin diri kamu sendiri, sekarang? Kondisimu lebih mengenaskan dari yang kukira. Kalau tahu kamu akan mengalami ini, mungkin aku memilih untuk mati saja," ujar Jay dengan dingin.
Plak!
"Jangan ngomong gitu untuk orang yang udah nolongin kamu, Jay!" seru Tante Nat. "Ini, minum pelan-pelan." Ia pun menyodorkan sebuah botol, lalu membantuku untuk meminumnya perlahan-lahan. Rasanya tenggorokanku menjadi sejuk. "Kamu jangan maksain diri dulu, Al. Kondisimu bener-bener buruk. Penyakit jantung dan efek samping menghisap darah Jay jadi bikin kondisimu mengerikan."
Rei mengangguk di sebelahku. "Kak Al udah tidur seminggu."
Mataku terbelalak lebar. "Seminggu?"
Yang mengangguk adalah Kak Galaksi. "Selama kamu nggak sadar, kita tetap berjalan. Kita nggak mungkin stay di Semarang, karena X-Gen itu memburumu."
"Sekarang, kita ada di Blora."
Aku tercengang. "Aku penghambat banget, ya?" Aku menundukkaan kepala. Aku merasa sangat bersalah. "Harusnya kalian ambil darahku aja, tinggalin aku di Istana Zombi itu. Seminggu dapetnya cuma sampe Blora. Kalau kalian ninggalin aku, mungkin udah sampai Surabaya dari lima hari lalu, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...