"Aku harap, ia menunjukkan kebenaran."
"Aku harap, ia kalah dan menyerah."
"Aku harap, matanya hancur."
"Aku harap, ia yang keracunan."
Dan, semua yang aku harapkan terjadi. Tapi, satu hal yang ternyata baru aku pahami. Harapanku untuk orang lainlah yang akan terwujud, bukan harapanku untuk diriku sendiri. Jadi, semacam menyumpah dan mengutuk orang lain.
Setelah menyelamatkan Kak Galaksi, Tante Nat, Rei, dan Jay dengan memindahkan racun obat tidur mereka ke kedua orang tua Wira, kami bergegas meninggalkan desa itu. Meski bangak penduduk yang mencoba menghentikan, tapi tentu saja mereka tak akan ada apa-apanya dibanding kekuatan kami. Aku telah menggunakan kekuatan My Wishes, mereka menjadi sangat kuat dan tangguh. Bahkan, Rei pun menjadi jago berkelahi dan menggunakan senjata.
Secara tak langsung, aku pun berharap darahku dapat menjadi obat. Tapi, saat aku mencobanya pada tupai yang kutangkap, itu tidak berhasil. Saat itulah aku sadar, bahwa ada syarat dari kekuatan yang aku miliki. Aku harus memikirkan orang lain ketimbang diri sendiri. Itu artinya, aku harus pandai-pandai merangkai kata agar darahku benar-benar dapat mengembuhkan orang.
"Gimana kalau, 'Aku harap, dia kebal terhadap A-Tears dengan darahku'?" usul Rei yang sedang asik melihaikan dirinya setelah mendapatkan My Wishes.
Aku diam sejenak, dan itu bukan ide yang buruk. Tapi, aku tak akan melakukannya sekarang. Aku sudah membunuh tupai tak bersalah dan tak bisa kami makan. Untuk mencobanya, kami harus menteskan liur zombi pada luka tupai itu. Rasanya, aku seperti psikopat jika melakukannya pada lebih dari seekor tupai. Ini tidak sesuai etika, bukan? Ini penyiksaan hewan dan sangat tidak manusiawi.
Saat ini, kami sudah tiba di Kota Bojonegoro. Kami berjalan sejak malam itu dan hampir tak berhenti sampai akhirnya kami tiba di kota ini di pagi harinya. Kami berjalan mencari tempat berteduh dan beristirahat, tapi kecemasanku terhadap Luciel membuatku tak tenang untuk duduk lama. Jadi, kami hanya beristirahat setiap 15 menit dan kembali berjalan secepat yang kami bisa.
Aku sudah menceritakan tentang Luciel pada mereka, dan mereka sepertinya juga tak mau berurusan dengan Luciel ini. Entah sehebat apa ia sampai ada dua X-Gen yang mengakuinya. Aku tak mau berurusan dengan hal merepotkan. Aku takut itu akan membahayakan yang lainnya.
"Kita coba keberuntungan!" seru Jay tiba-tiba saat kami hendak kembali melanjutkan perjalanan. "Buat harapan kalau kita nggak akan bertemu Luciel. Itu lebih efisien. Daripada kita jalan terus tanpa istirahat, adanya kamu mati di jalan karna serangan jantung, Al." Kata-katanya terdengar menghina, tapi aku tak bisa marah karena ucapannya benar.
"Iya juga, ya," gumam Tante Nat. "Hm... Kalimat apa yang pas, ya?" gumamnya, tampak seperti sedang berpikir.
"Aku harap, Kak Galaksi, Tante Nat, Rei, dan Jay nggak terlibat dan nggak melibatkan diri dengan X-Gen manapun termasuk Luciel, dan mau pergi ke Surabaya meski tanpaku dengan membawa darahku," ucapku cepat, sangat cepat.
"What the hell, Al!" seru Jay. "Bukan itu yang gue mau! Buat kita, bukan kami!"
Aku berdecak. "Ya, makanya mikir, dong, kalimatnya. Jangan cuma -" Aku terdiam, bahkan langkahku terhenti.
"Al?" panggil Jay sarat akan kecemasan.
"Alya, kamu nggak apa-apa?" Kak Galaksi menyentuh pundakku, lalu berdiri di hadapanku. "Al? Sakit?"
Hyung! Bruk!
Aku sadar tubuhku oleng, bahkan aku bisa merasakan tubuhku jatuh ke dalam pelukan Kak Galaksi. Dengan sisa-sisa kesadaran, aku mendengar kepanikan yang lainnya. Aku juga mendengar debaran cepat jantung Kak Galaksi yang mencemaskanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...