Saat aku keluar dari rumah, monster-monster yang mengepung rumah persembunyian kami pun tak ada yang bergerak meski mereka menggeram seperti hewan buas yang siap memangsaku kapan saja. Mereka berbaris rapi seperti menunjukkan jalan untukku, jadi aku berjalan menjauhi rumah seperti kemauan mereka. Dan, bukan hanya agak jauh, tapi tempat yang kudatangi jauh dari rumah persembunyian. Well, meski hanya 15 menit berjalan kaki.
"Gila, ya! Jemput pake kuda, kek! Capek!" keluhku begitu tiba di tepi kolam besar, seperti kolam pemandian umum dan terbuka. Aku ingat Kak Galaksi sempat bilang bahwa di dekat sini ada goa. Dan, tak jauh dari kolam itu, aku melihat batu-batu besar dengan mulut goa di sana. "Ah, kesel banget. Jadi inget sama Edmund!"
Sejak beberapa saat lalu, tak ada lagi monster yang mendekat, bahkan sepertinya jumlah mereka di sini tidak banyak. Dengan penasaran, aku meninggalkan kolam itu menuju batuan besar yang menciptakan goa di bawahnya. Di sanalah aku merasakan X-Gen yang memiliki kekuatan cukup besar itu. Namun, entah kenapa, aku merasa seperti tak terancam. Entah aku yang terlalu lengah, atau memang X-Gen itu tidak bermaksud buruk.
Saat aku masuk, aku melihat berkeliling sambil terkesima kagum oleh alam yang menciptakan tempat seperti ini. Hingga akhirya aku terpaku pada sosok laki-laki berpakaian serba putih bak kuntilanak. Sumpah, demi apapun! Walaupun rambutnya tidak panjang, tapi baju putih terusan bak kimono itu membuatnya terlihat seperti kuntilanak. Untung aku tidak berteriak. Ah, lebih baik bertemu zombi daripada kuntilanak.
Aku mendekati lelaki yang tengah duduk di atas batu dengan posisi bertapa. Kedua tangannya bertaut di depan tubuh, tepatnya di atas kedua kakinya yang saling menyilang. Tampaknya ia irang pribumi, tapi entah kenapa ia berlagak seperti pertapa. Wajahnya pun masih terlihat muda, tak jauh beda denganku.
"Maaf, membuatmu datang dengan cara kasar," kata lelak pemilik suara berat itu. Perlahan, ia membuka matanya dan menatapku dengan tatapan tak berekspresi. "Aku harus melindungimu dari Luciel."
Aku mengerutkan kening. "Baru kali ini aku denger ada X-Gen yang mau lindungin aku dari Luciel," gumamku.
"Aku nggak berpihak ke siapapun. Aku ada untuk menjaga alam dari tangan perusak, termasuk melindungi monster-monster di sekitar sini," sebutnya, seraya menurunkan kedua kakinya dari tempatnya bertapa, lalu ia melompat turun dan berjalan mendekat. Aku tak bergeming. "Namaku Chakra, asli Lamongan." Ia mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku.
Aku menerima tangannya. "Alya."
Charka tersenyum. "Kekuatanku mampu menjinakkan monster. Mungkin karna dari dulu aku suka hewan dan cinta alam," ujarnya, tapi aku tak tahu harus menanggapi apa. "Kamu boleh nggak percaya aku, tapi kamu harus percaya pada alam."
Aku menatapnya bingung. "Kamu mau menyampaikan apa?"
"Dia bermaksud mengambil alih Surabaya. Dia akan menghentikan manusia menciptakan vaksin A-Tears agar keinginannya tercapai. Dan, sebagai satu-satunya X-Gen perempuan, dia menginginkanmu."
Aku sudah tak terkejut mendengar kalimat terakhirnya. Tapi, satu hal yang membuatku penasaran. "Jadi, Luciel sekarang ada di Surabaya?"
Chakra mengangguk. "Entah dari siapa, dia tahu kamu akan ke sana. Jadi, mereka sengaja menunggumu di sana," jawabnya. "Kekuatanmu bisa dikembangkan, Al. Kamu bisa menghentikan Luciel."
Aku menatapnya frustasi. "Harapanmu ketinggian," ujarku, lalu aku menghela napas. "Tapi, walaupun nggak diminta, aku bakal ngelakuin apapun untuk menghentikan Luciel."
Chakra tersenyum lembut. "Aku tahu kamu bakal ngomong gitu," gumamnya. Lalu, ia mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajahku. "Alam tahu siapa yang memihak padanya. Kamu harus percaya bahwa alam akan selalu membantumu. Kekuatanmu tak terbatas."
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...