Luciel yang sebelumnya kukira sengaja datang dari luar negeri, ternyata adalah Luciel yang memang kukenal, membuat kami sudah dapat memperkirakan tempat yang akan digunakan olehnya sebagai markas. Kalau dia dari luar negeri yang sengaja datang ke Indonesia untuk mengumpulkan X-Gen, mungkin bukan tempat ini yang ia gunakan sebagai markas. Dia tahu Universitas Airlangga Kampus A itu seperti apa. Aku ingat, dulu ia pernah meneliti di kampus kedokteran itu.
Barikadenya membentang di lebar jalan perbatasan Dharmahusada dan Mayjen. Prof. Dr. Moestopo, tepatnya di dua sisi persimpangan segitiga, hingga persimpangan besar Dharmawangsa. Kalau dihitung-hitung, wilayah kekuasaan mereka luas sekali. Bahkan, penjagaannya ketat sekali. Selain jumlah, mereka juga menggunakan X-Gen sebagai penjaga. Tak semua membawa senjata, tapi aku tahu mereka semua X-Gen. Hanya saja, mereka X-Gen yang berbeda dengan yang kurasakan dari X-Gen yang pernah kutemui.
"Mau langsung masuk aja?" tanya Kak Galaksi.
Saat ini, kami sedang bersembunyi, karena kami harus berhati-hati dalam mengambil tindakan. Apalagi, keberuntungan hanya dimiliki Kak Galaksi, bukan aku. Salah-salah, aku bisa terlibat masalah yang lebih besar. Kami datang dari arah Kalimas, dan kami hanya mampu berdiri di depan SMAN 4 selama 15 menit ini. Selain untuk mengawasi, juga untuk beristirahat setelah sejam berjalan.
"Aku, sih, nggak masalah, karna aku punya keberuntungan dari kamu. Tapi, gimana kamu? Kalau nanti penjaga-penjaga itu nggak percaya, kamu bisa dalam masalah," lanjutnya.
Tentu saja itu yang aku khawatirkan. Tapi, aku sungguh ingin menyelesaikan semuanya sekarang. "Langsung aja, lah."
"Kamu yakin?"
Aku menatapnya mantap dan mengangguk. "Cuma itu. Daripada kita dateng membabi buta kayak ngajak ribu, mendingan langsung dateng aja kayak nggak tahu apa-apa, polos gitu. Kalau mereka nyari masalah, baru kita mengamuk," tuturku.
Kak Galaksi terkekeh. "Yaudah. Ayo."
Jujur, aku berdebar-debar karena terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Satu sisi, aku khawatir kalau masalahnya akan menjadi merepotkan dan menyebalkan. Tapi, sisi lain aku juga bersemangat. Aku akan bertemu dengan Luciel, dan mungkin aku juga akan bertemu dengan Ayah. Dan, saat aku bertemu Luciel nanti, akan kuhajar tepat di wajahnya yang tampan itu!
Lima penjaga yang dua diantaranya memiliki senapan itu menghadapkan tubuh mereka dengan siaga saat kami akhirnya keluar dari persembunyian dan berjalan tepat di tengah jalan raya yang lengang ini, di bawah matahari yang semakin terasa terik. Kami berjalan santai dengan saling bergandengan tangan. Sesekali aku menatap Kak Galaksi, ia terlihat tegang. Yah, itu wajar. Aku juga tegang.
"Siapa?" tanya penjaga yang berdiri di tengah empat lainnya.
"Alya Zhafira, anaknya Irfandi Lazuardi Atmadjaja," sebutku.
Ckrek!
Dua senapan ditodongkan di wajahku dari jarak dekat. Satu orang membakar kedua kepalannya yang diarahkan ke wajahku, dan satu orang lainnya menghunuskan dua pisau pendek dan bersiaga menyerangku. Hanya orang di tengah yang tidak berbuat apa-apa kecuali memasang wajah dingin dan sinis yang terasa begitu arogan.
"Buktikan."
Aku menatap Kak Galaksi, lalu kembali menatap lelaki berkumis itu. "Caranya gimana?" tanyaku. "Panggil aja Luciel ke sini, atau panggil ayahku. Mereka pasti tahu," tukasku.
"Lepaskan mereka."
Suara berat berbahasa Indonesia yang memiliki aksen itu terdengar dari arah belakang lima penjaga yang menghadang kami. Aku tak dapat melihat siapa, karena terhalang oleh tingginya para penjaga. Aku hanya dapat melihat tubuhnya saja dari celah kecil antara tubuh para penjaga. Kalau saja aku bisa lebih tinggi, aku pasti tahu siapa lelaki itu. Aku tak punya ide.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Ficção CientíficaZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...