Whose Side?

140 48 10
                                    

Perjalanan kami terhambat karena kondisiku naik-turun dengan sangat tidak stabil. Setelah hipotermia dua hari lalu, baru hari ini kami bisa meninggalkan Lamongan. Untunglah cuacanya mendukung, meski panasnya sangat menyengat karena kami berada di ujung Pulau Jawa bagian timur ini. Jujur, ini sangat panas sampai rasanya ingin melepas kerudung yang menutupi kepalaku. Ini sangat panas, sungguh!

Kami tiba di perbatasan Gresik dan Surabaya pada sore hari setelah menempuh perjalanan hampir 12 jam, dan kami hanya berhenti setiap 3 jam selama 15 menit saja. Aku yang memaksa. Aku hanya ingin secepatnya tiba di Surabaya, dan aku benar-benar merasa seperti akan mati karena kelelahan dan kepanasan. Demi apapun, aku ingin melepas semua bajuku dan berendam di air dingin.

By the way, Gresik memang kota industri seperti Karawang. Tapi, kami menghindarinya dengan memilih jalan sedikit ke selatan. Meski tetap bertemu zombi berbagai level, tapi semua dapat kami hindari, termasuk Zombizilla. Kekuatan Chakra berguna sekali. Zombizilla adalah manusia yang berubah menjadi zombi tapi punya darah monster juga. Tentu saja aku dapat mengendalikan mereka. Praktis sekali, dan kami sangat diuntungkan.

Tepatnya, kami berada di Rumah Sakit Islam Darua Syifa. Meski rumah sakit itu terbengkalai, tapi tempat itu tidak ada zombie sebutirpun. Sudah kupastikan. Kami akan bermalam di sana sebelum melanjutkan perjalanan kembali menuju tujuan utama kami, Tropical Diseases Center milik Universitas Airlangga. Syukur-syukur kami langsung tahu di mana lokasi Ayah dan Luciel sebenarnya. Kami akan langsung ke sana.

Namun, sejujurnya aku bingung. Satu sisi, pemikiran Luciel benar, bahwa mungkin saja orang-orang dapat bertahan hidup di zaman wabah ini jika mereka mejadi X-Gen. Namun, jika itu terjadi, keseimbangan akan terganggu karena setiap manusia akan memiliki kekuatan super. Namun, sisi lain aku juga merasa bahwa vaksin adalah pilihan yang tepat. Hanya saja, aku tak tahu apakah vaksin akan menyelamatkan manusia agar tak tertular A-Tears dan menjadi zombi. Vaksin hanya kekebalan, namun pasti tak akan bisa kebal 100%. Sementara, X-Gen memiliki kekebalan 100% - sepertiku - dan dapat memberantas zombi untuk menekan jumlah mereka.

"Pihak mana?" tanya Jay.

Aku menggeleng. "Bingung, sumpah. Aku harus ketemu dua pihak itu. Kalau bisa berdamai tanpa pertumpahan darah, kenapa harus perang? Sama-sama manusia, sama-sama mau hidup damai dan tentram. Masa Surabaya mau balik ke zaman perang dulu, kayak kejadian 10 November," tanggapku.

"Pasti nggak bisa itu, sih," sahut Tante Nat. "Menyatukan dua otak manusia yang beda pendapat dan yakin sama keputusan masing-masing susahnya minta ampun. Kita aja susah, 'kan, nentuin pilihan, padahal itu pilihan sederhana. Lah, ini pilihan yang menyangkut negara, bahkan dunia, loh," tuturnya.

Kak Galaksi manggut-manggut sambil mendekap tubuhku lebih erat. Meski sepanjang perjalanan kami kepanasam setengah mati, malam ini terasa dingin sekali sampai aku sedikit menggil. Semenjak hipotermia kemarin, tubuhku lemah sekali pada perubahan suhu. Kalau panas jadinya kepanasan sekali, kalau dingin malah menggigil.

"Ini kayak pemilihan presiden, ya? Kalian bahasannya susah banget. Nggak ngerti," timpal Rei merengut. "Langsung berharap aja kalau ada pencerahan atau ilham gitu supaya tahu mana yang terbaik," ungkapnya.

"Aku bukan nabi, loh. Nabi aja harus bertapa supaya bisa dapet ilham," timpalku. "Apa aku berharap bisa lihat masa depan aja?"

Kak Galaksi menggeleng. "Masa depan, tuh, nggak pasti. Bisa berubah kalau kita salah ambil keputusan. Terlalu ngira-ngira," jawabnya. "Harus efisien. Kita nggak tahu kekuatannya Al bisa sepuasnya dipake atau ada batasnya, 'kan? Sejauh ini nggak ada masalah, tapi jangan sampai Al kenapa-kenapa."

"Ada," timpalku. Lalu, semua mata tertuju padaku dengan tatapan penasaran dan bingung. "Ada batasnya."

"Hah? Kok, nggak ngomong? Kapan tahunya?" tanya Kak Galaksi agak meninggikan suaranya.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang