President

153 39 9
                                    

Kata Jin-ae, Presiden dikurung di fasilitas bawah tanah ini, tapi lokasi pastinya tidak ia ketahui. Mau tidak mau, kami harus menggunakan keberuntungan untuk menemukan lokasi Presiden.

Keberadaan Presiden sangat dibutuhkan oleh Indonesia, karena hanya dia yang dapat memberikan keputusan tertinggi dan menjadi orang yang dapat menenangkan Indonesia. Misi kami saat ini ada tiga, yaitu menemukan Presiden, membawa Presiden ke Tante Nat, Rei, dan Jay, lalu menjatuhkan Monochrome.

Sekitar sepuluh pasukan Monochrome dengan pakaian ketat hitam-putih, menggunakan masker gas respirator putih, dan membawa senapan panjang dan tampak cukup besar, sudah menunggu kami tak jauh dari tempat kami meninggalkan Jin-ae. Tentu saja, kami tak akan biarkan mereka untuk mendekati Jin-ae, karena dia dapat dipercaya, dan kami juga membutuhkannya untuk menyiapkan semua bukti perbuatan Monochrome.

Kenapa Presiden?

Presiden adalah simbol negara, juga orang yang akan mampu menggerakkan masyarakat, juga merupakan orang yang akan dipercaya oleh masyarakat. Ia adalah perwakilan rakyat. Selama ini, nama Presiden hanya di-atas-nama-kan oleh Monochrome, sehingga masyarakat percaya. Jika kami bisa memunculkan Presiden pada publik, lalu membongkar semua perbuatan Monochrome, tentu saja masyarakat akan mau membantu kami, lalu Luciel pun akan ikut terbantukan di akhir nanti. Agak panjang dan sepertinya butuh waktu. Tapi, jika semua usaha kami sepadan, tentu akan menjadi kepuasan tersendiri nantinya.

Aku mengarahkan tanganku pada orang-orang Monochrome itu. "Aku harap, mereka pingsan selama 24 jam." Dan, secara serempak, mereka semua jatuh pingsan, bahkan beberapa saling bertumpang-tindih.

"Ambil senjatanya," kata Kak Galaksi, seraya menarikku untuk mendekati pasukan itu. "Wah! Ini besar tapi ringan. Bahannya kayak plastik," gumamnya semangat, sambil mengamati setiap sudut senapan. "Ini ada peluru timah sama stungun. Keren juga."

Aku menyelempangkan satu senapan, sementara Kak Galaksi mengambil empat. Ia membawa tiga di belakang, satu di depan. "Ini buat Tante Nat, Rei, dan Jay nanti," ujarnya. "Kamu nggak apa-apa pakai kekuatan?" tanyanya sambil menangkup pipiku.

"Iya, nggak apa-apa. Nggak kerasa apa-apa," jawabku, lalu tersenyum. Aku tidak berbohong. "Kayaknya, kalau harapan kecil gitu, sih, masih bisa ditoleransi."

"Jangan maksain diri, ya?" Ia mengusap kepalaku lembut dan hangat saat aku msnganggukkan kepala.

Kami pun berjalan dengan langkah tenang. Kami tidak akan terburu-buru, tapi bukannya kami bersantai. Aku tidak bisa diajak berlari, bahkan berjalan cepat saja nafasku sudah Senin-Kamis. Awalnya, aku ingin kami berpencar saja. Tapi, Kak Galaksi menolak karena takut terjadi sesuatu padaku perihal kondisiku. Jadi, kami akan tetap bergerak bersama.

Kami melewati lorong yang agak panjang. Aku gak tahu arah dan jalan, jadi aku mengandalkan keberuntungan Kak Galaksi. Kami seperti bermain tebak-tebakan. Kak Galaksi berbelok ke lorong kiri, jadi aku menurut. Kami melewati dua perempatan, lalu bertemu pada pertigaan di ujung lorong dan kami ke kanan. Kami bertemu lagi dengan pertigaan sebanyak dua kali, tapi kami tak berbelok. Hingga akhirnya kami tiba di ujung lorong, di mana sebuah pintu baja berada dan dijaga oleh dua lelaki bertubuh kekar dan besar seperti Zombizilla.

"Oh, mereka benar Zombizilla," gumamku.

"Wah. Jadi, Monochrome menggunakan vaksin-vaksinan untuk buat tentara kuat setara Zombizilla tapi bisa dikendalkkan, ya," gumam Kak Galaksi. "Ide bagus, sih."

Aku mengangguk. "Kalian ngerti ucapanku, nggak?" tanyaku pada kedua manusia yang juga terasa seperti Zombizilla itu.

Kedua makhluk itu saling bertatap, lalu menganggukkan kepala. Padahal, mereka dilengkapi dengan senapan, tapi sama sekali tak bersiaga meski kami sudah berada dua meter di depan mereka. "Si-a-pa?"

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang