OMom's Heart

244 64 10
                                    

Ini hari ketiga kami melakukan perjalanan menuju Surabaya melalui jalan besar. Kami sengaja menghindari tol, sebab di jalan tol hampir tak ada tempat untuk bersembunyi jika bertemu dengan zombi atau monster. Seharusnya, perjalanan Jakarta-Surabaya hanya membutuhkan waktu seminggu, jika setiap malam beristirahat, mungkin hanya dua minggu. Dan seharusnya, saat ini kami sudah bisa tiba di Bekasi. Tapi, kondisiku yang kerap tak memungkinan membuat perjalanan kami mungkin membutuhkan waktu satu bulan.

Kami masih ada di Jakarta, tepatnya di MT. Haryono, jika sebelumnya kami ada di Gatot Subroto. Hari masih cukup siang, masih jam 2. Kami baru saja duduk beristirahat di sebuah masjid yang cukup besar. Karena banyak berjalan, sekarang kakiku mudah sekali bengkak, meski Kak Galaksi sudah menyuruhku meminum obat diuretik yang membuatku sering buang air. Sepatuku bahkan tak terpakai, hanya menjadi hiasan gantung di tas ranselku. Aku memakai sandal, itu lebih bagus untuk peredaran darah.

Aku berbaring dengan mengangkat kedua kakiku, menyandarkannya pada pilar di bagian dalam masjid. "Uhuk! Uhuk!" Batuk sudah menjadi keseharianku, apalagi saat berbaring dan udara dingin di malam hari. Tentu saja hal itu membuat Kak Galaksi tak bisa tidur nyenyak. Aku jadi merasa bersalah padanya.

Berdasarkan penjelasan Kak Galaksi, ARVC memang tak bisa sembuh. Dan, katanya ada alat yang bisa membantu menstabilkan kondisi jantung, ICD (Implanted Cardiac Defibrilator), semacam pacemaker untuk mengalirkan listril yang akan membantu penderita ARVC terhindar dari serangan jantung yang mematikan. Tapi, alasan kenapa aku tak dipasang alat itu, menurut Kak Galaksi, mungkin ada satu kondisi yang membuatku tak memungkinkan menggunakannya.

Usai sholat, kami berbaring mengistirahatkan diri. Kepala kami bertemu, berbaring saling membelakangi. Aku bisa merasakan dengkuran halus dari Kak Galaksi. Sepertinya ia kelelahan. Meski kami jarang bertemu zombi dan semaksimal mungkin menghindari mereka, tapi perjalanan seperti ini, juga karena diriku yang harus sering istirahat, membuatnya pun lelah. Apalagi, tiap malam ia kurang tidur.

"KYAAAAA!!"

Refleks aku membagkitkan tubuhku, bahkan sampai membuat pandanganku menggelap karena anemia. Hal yang sama juga dilakukan Kak Galaksi. Tapi, ia berhasil lebih dulu untuk berdiri dibanding aku yang masih harus menenangkan diri dari sensasi blackout sesaat hingga membuat jantungku sampai berdebar-debar sangat keras.

"TOLOOONG!!"

"Tunggu sini, Al. Nggak usah ikut -"

Sebelum Kak Galaksi pergi, aku menahannya agar tak langsung meninggalkanku. "Ikut." Aku pun berdiri dengan bantuannya, lalu kami berlari secepatnya untuk keluar dari masjid berdebu dan usang ini.

Awalnya, aku berpikir bahwa wanita yang menjerit itu dikejar oleh zombi, tapi ternyata salah. Wanita yang menggendong anak dalam balutan kain itu dikejar beberapa lelaki yang memegang senjata tajam dan senjata api. Benar-benar pemandangan yang tak mengenakkan. Dan, hanya ada satu alasan yang terpikirkan olehku.

Sebelum Kak Galaksi meninggalkan teras masjid, aku sudah berlari lebih dulu. Pagar masjid yang tak tinggi itu pun dapat dengan mudah kulompati dengan lincah, seakan aku sudah terbiasa. Jujur, ini baru untukku, tapi bukan itu fokusku saat ini. Aku harus melindungi wanita dan bayinya itu.

Aku melompat begitu saja di antara wanita dan bayinya, dengan segerombol penduduk yang jelas sekali akan membunuh wanita itu atau bayinya. Tapi, melihat kondisi wanita itu tampak bail-baik saja, aku rasa yang bermasalah ada bayinya. Bayi itu menangis super kencang. Jika dibiarkan, pasti akan mengundang zombi ke daerah ini.

"Jangan ikut campur!" seru pemimpin gerombolan lelaki itu. "Bayi itu akan jadi zombi. Kita harus membunuhnya sebelum berubah. Itu lebih baik untuknya," ujarnya.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang