Hubunganku dengan Kak Galaksi menjadi lebih baik. Tak ada lagi kecanggungan di antara kami. Kami bahkan sudah bisa berjalan berdampingan, hingga bergandengan tangan. Tentu saja aku senang. Di antara lainnya, Kak Galaksi berada di urutan teratas orang terpentingku saat ini. Ialah yang sejak awal ada untukku.
Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju Surabaya. Kalau diperkirakan, sebenarnya butuh waktu hampir 24 jam perjalanan untuk sampai di sana , tapi pasti akan sangat memakan waktu karena aku. Meski aku X-Gen, nyatanya aku tetaplah anak penyakitan. Berjalan tiga jam tanpa henti sudah sangat menguras tenaga. Rasanya, darah yang kuminum hanya cukup untuk energi berjalan selama tiga jam.
Yah, setidaknya ada perkembangan. Dulu, aku hanya sanggup berjalan selama satu atau dua jam.
Saat ini kami masih di Kabupaten Bojonegoro setelah berjalan tiga jam tanpa henti. Tentu saja perjalanan kami lambat, karena kami kerap bertemu dengan monster. Kalau zombi, mereka tak mau mendekat karena ada aku. Tapi, tidak dengan para monster. Bukan masalah bisa-tidaknya bertarung melawan mereka, tapi mereka jauh lebih sulit diprediksi dibanding zombi. Cara mereka berpikir adalah hewan, sementara zombi adalah manusia.
Kini, kami terpaksa beristirahat. Aku hampir saja tak bisa berjalan, karena aku banyak menggunakan kekuatanku untuk melindingi yang lainnya. Kami lebih berpengalaman menghadapi zombi daripada monster. Mungkin kalau aku sendirian, aku bisa mengatasi dengan baik dan tak banyak menguras tenaga. Memang, bertarung sambil melindungi orang itu sulit.
"Al, sini. Kamu bisa minum ini," kata Kak Galaksi beberapa meter dari tempatku menjatuhkan tubuh untuk berbaring.
"Nggak... kuat ja-lan... Cap-pek... Uhuk! Uhuk! Lima men-nit lag-gi..."
"Al, mau diambilin?" tanya Tante Nat lembut.
Aku menggeleng. "Mual..." lirihku.
"You're wasting your power, Al," ujar Jay sinis. "Nih, air putih aja dulu." Ia menyodorkan botol minumnya.
Rei yang menerima botol itu, sementara Tante Nat membantuku untum duduk. Rei membantuku untum memegang botol itu agar aku dapat meminum air di dalamnya. Yah, lumayan menyegarkan dengan beberapa teguk, tapi tak cukup untuk mengurangi lelahku. Aku butuh darah, sejujurnya.
Astagah! Aku sudah tidak bisa mengontrol nafsuku!
"Shi*!" Aku mendengar Kak Galaksi mengumpat kasar, lalu aku mendengarnya berlari ke arah kami. "Kita nggak bisa di sini!"
"Hah? Kenapa?" tanya Jay.
"Ini deket hutan. Ada goa juga deket sini. Pantes aja banyak monsternya," jawabnya. "Al, bangun. Kita harus pindah istirahatnya, jangan di sini. Ayo." Ia menarik tanganku, membuat tubuhku yang tak bertenaga pun pasrah saja ditariknya.
Tapi, memang ucapan Kak Galaksi benar. Saat Jay menggendongku di belakang punggungnya, aku melihat sekeliling kami sudah seperti hutan. Gelap, dingin, dan hening. Bangunan-bangunan rumah yang terbengkalai seakan kabin di tengah hutan yang menyimpan banyak cerita kelam yang mengerikan. Aku tak merasakan adanya zombi, tapi aku merasakan ancaman yang amat sangat mengerikan. Rasanya seperti kelinci yang diincar harimau.
"Banyak mata..." lirihku di telinga Jay.
"Hah?" gumam Jay. Tapi, ia tak banyak bicara. Sepertinya ia juga menyadarinya. "Duh, sial banget kayak gini. Kita kayak masuk ke sarang monster," ujarnya menahan kesal, tapi tak turut menurunkan volume suaranya.
"Gimana?" tanya Tante Nat di belakangku dan Jay. "Aku irit peluru banget, Rei juga. Kayaknya ada banyak banget monsternya."
"Kalau digigit monster, berubah jadi zombi juga, ya?" tanya Rei tiba-tiba. Pertanyaan konyol yang entah kenapa malah keluar dari mulut Rei, padahal ia pasti sudah tahu jawabannya. "Nggak bisa, ya, demam meriang biasa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...