Kota Pahlawan

143 44 6
                                    

Tujuan kami sekarang adalah UNAIR Kampus C, tepatnya RS Pendidikan Universitas Airlangga. Rumah sakit itu adalah pusat komando terkait A-Tears di Indonesia, dan lokasinya bersebelahan dengan Tropical Diseases Center dan Laboratorium Biosecurity Level 3. Kalau dilihat dari jarak di peta lusuh yang kami punya, seharusnya kami bisa sampai di sana kurang dari setengah hari jika berjalan tanpa beristitahat.

Saat kami meninggalkan Benowo dan mulai berjalan sekita satu jam, kami melihat beberapa mobil Jeep dan Range Rover melaju pelan di jalanan sepi kota. Beberapa orang sengaja menampakkan diri mereka dengan seragam tentara dan senjata api laras panjang mereka. Padahal, di sekitar sini tak ada zombi yang kurasakan. Kalaupun ada monster, paling yang level rendah dan tak seberbahaya itu. Namun, rasanya aku mengerti alasan mereka menjaga Kota Pahlawan ini. Mereka tak terlihat seperti siap bertempur melawan zombi. Yang mereka lawan adalah manusia.

"Apa karna Luciel?" tanya Tante Nat.

Kami sedang bersembunyi di samping bangunan yang tak berpenghuni, mengamati situasi di jalan yang niatnya kami lewati untuk ke Kampus C. Tapi, kami tak bisa keluar begitu saja. Meski mungkin mereka bekerja untuk pemerintah, tapi tidak ada yang menjamin kami diperlakukan dengan baik, meski ada aku yang seorang X-Gen di antara kami. Kami harus hati-hati jika berurusan dengan manusia. Tak ada pengalaman baik selain dengan Chakra.

"Mungkin," jawab Jay. "Ini bukan situasi yang bagus untuk kita bisa berkeliaran di jalan utama," ungkapnya. "Mau lewat jalan tikus?"

"Bisa aja, sih," jawab Kak Galaksi yang entah sejak kapan sudah membuka peta lusuh kami. "Kita bisa lewat sini, tapi nggak jamin kalau warga yang mungkin masih ada di sekitar sini nggak akan ngelaporin kita."

"Udah nyampe sini aja masih ada hambatan," gumam Rei. Aku setuju padanya. "Pingin cepet-cepet ketemu kasur empuk, mandi, makan yang anget-anget, yang enak," keluhnya, sepertinya tanpa ia sadari.

Aku mengusap puncak kepalanya. "Sabar, ya."

Rei menatapku lama, lalu mengangguk kecil. "Maaf, aku ngeluh. Padahal, Kak Al paling capek di sini."

"Hah? Ya, nggak, lah. Kita sama-sama capek, kok," ungkapku. Lalu, cepat-cepat kualihkan topik pembicaraan sebelum semakin berat. "Kita cari rumah neduh dulu, yuk. Habis itu, Kak Galaksi ambil darahku."

Semua diam menatapku bingung. Tapi, yang bersuara adalah Kak Galaksi. "Kenapa secepet itu?"

"Kamu punya ide apa, Al?" tanya Jay menimpali.

"Tante Nat, Rei, dan Jay. Kalian samperin tentara itu. Bilang kalau kalian dateng untuk ngasih darah X-Gen. Kalau mereka orang pemerintahan, mereka bakal bawa kalian langsung ke TDC. Saat itu, aku dan Kak Galaksi bakal ngikutin kalian diem-diem buat mastiin keselamatan kalian. Kalau ternyata mereka bukan orang pemerintah, tinggal kita habisi aja, 'kan?" jelasku.

"Kamu bicaranya serem," gumam Tante Nat. Ia pasti berpikir hal mengerikan tentang 'habisi' yang aku katakan.

"Tapi, kayaknya itu ide yang cukup efisien untuk situasi saat ini, 'kan?" ujar Jay. "Tapi, mungkin kalian nggak perlu ngikutin kami. Kalian langsung nyari Luciel aja. Nat dan Rei tanggung jawabku. Berkatmu, kami juga udah semakin kuat," jelasnya.

Aku diam sejenak, lalu mengangguk. "Aku harap, kalian mendapatkan keberuntungan."

"Al?!"

Aku menyengir lebar saat semua mata menatapku dengan tajam. "Aku nggak apa-apa, lihat." Aku mengulurkan kedua tanganku, memutar badan setengah ke kanan lalu ke kiri. "Itu harapan yang sederhana, dan aku harap itu terjadi sama kalian. Jadi, kita bisa ketemu lagi saat situasi sudah membaik."

Ctak!

"Ah!" Spontan aku menyentuh keningku. Sakit sekali sentilan Kak Galaksi saat sedang kesal. Mataku sampai berkaca-kaca. Sakitnya seperti sampai ke mata.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang