Kill or To Be Killed

308 74 9
                                    

Zombi-zombi itu memang dulunya adalah manusia. Mereka masih punya penampilan layaknya manusia, meski banyak bagian tubuh yang sudah hancur, meski otaknya tak bisa lagi disamakan dengan otak manusia saat ini. Mereka bagaikan hewan buas, bagaikan hewan yang hanya memikirkan perut. Tak ada lagi sisi kemanusiaan yang mereka miliki.

Pagi ini, kami meninggalkan mushola. Meski tubuhku masih lemas, tapi ada Kak Galaksi yang siap membantuku, dan mau bersabar jika aku memintanya untuk berhenti dan beristirahat sejenak. Memang perjalanan kami akan sangat lama, tapi kami tak menemukan kendaraan yang bisa digunakan saat ini. Apalagi, Kak Galaksi juga tak mengerti otomotif. Ia saja tak mengerti, apalagi aku.

Namun, saat kami baru saja keluar dari jalan kecil pedalaman Jakarta - kami memutuskan untuk menggunakan jalan utama, memudahkan kami mengikuti peta yang kami punya - kami langsung dihadapkan oleh puluhan Zombi Tipe I. Memang mereka tak menyerang kami, tapi kami tetap harus berhati-hati, demi Kak Galaksi. Jika ia tergigit, aku tak yakin ia bisa menjadi X-Gen sepertiku.

Satu kenyataan yang kami dapatkan, meski kemarin kami bisa terbebas dari Zombi Tipe I di pusat perbelanjaan itu. Tapi, kenyataannya, tidak untuk saat ini. Padahal, aku berpikir kami bisa melakukan perjalanan dengan lebih santai, apalagi dengan kondisiku saat ini. Aku tak mau menjadi beban Kak Galaksi, terutama saat sakit. Bahkan, untuk berlari pun rasanya aku tak punya tenaga.

Klang!

Sebuah reklame di dekat kami tiba-tiba saja bergerak. Refleks kami mendangak, melihat reklame itu siap jatuh kapan saja. Tampaknya, masa-lah yang membuatnya seperti itu. Meski suara itu bukan kami yang menciptakannya, tapi mereka malah terpancing ke arah kami hanya karena kami berada di dekat sana.

Zombi Tipe I sangat sensitif dengan suara. Sensitif dalam airtian bahwa itu adalah salah satu hal yang dapat memancing amarah mereka. Dan, kini mereka berlari dengan ganas menuju kami, berlari bagaikan hewan buas kelaparan yang mencium aroma daging dan darah.

"Sh*t!" Aku terkejut ia mengumpat seperti itu. Rasanya, itu tidak cocok dengan dirinya. "Al, bisa lari?"

Baru saja aku hendak membuka mulut, tiba-tiba satu zombi melompat dengan pose badan siap menerkam, seperti harimau menerkam rusa. Refleks, bahkan aku tak sadar dengan apa yang aku lakukan. Aku mengangkat tangan kananku seakan menepis lalat. Tapi, apa yang terjadi lebih parah daripada memukul lalat dengan raket pemukul. Zombi itu terpental jauh ke seberang jalan di sisi kami, menabrak mobil hancur hingga kepalanya hancur.

"Woah!" gumamku sambil menatap tangan kananku yang aneh ini.

"Nggak ada waktu, Al." Kak Galaksi menarik tangan kananku, menghentikanku dari kekaguman atas tanganku. Ia pun mengajakku berlari. Padahal, untuk bernafas saja aku hampir tak mampu.

Bukan hanya mampu menghancurkan kaca, ternyata sangat ampuh untuk membunuh zombi. Jujur, ini pertama kalinya aku membunuh zombi. Agak mengerikan untuk hatiku, tapi di saat yang sama aku masih merasa kagum. Dan di sisi lain, aku merasa sangat senang. Ugh! Semoga aku tidak menjadi pembunuh berdarah dingin.

Kak Galaksi mengajakku berbelok masuk ke dalam sebuah gedung dengan pintu kaca yang sudah hancur. Sebenarnya, memasuki gedung adalah kesalahan. Sebab, gedung pun pasti menyimpan zombi. Mungkin saja monster. Tapi, aku menurut saja pada Kak Galaksi. Aku tak bisa melawan saat ia terus menarikku, bahkan kami berlari menaiki tangga pun aku menurut saja.

Kak Galaksi mencoba-coba setiap pintu yang kami temukan. Berharap itu bisa menjadi tempat perlindungan kami. Jarak kami dengan zombi-zombi itu cukup jauh, karena berkali-kali aku menoleh, mereka tak terlihat di belakang kami. Aneh, tapi untuk saat ini aku bersyukur. Setidaknya, aku bisa bernapas sejenak.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang