Namanya Gajendra Galang Galaksi. Katanya, ia ingin dipanggil Galaksi saja, karena itu memiliki makna bahwa ia adalah laki-laki yang berjiwa lapang dan luas seluas Galaksi. Ia berumur 22 tahun, sedang masa ko-asistensi di sebuah rumah sakit. Ya, umurnya memang masih 22 tahun, tapi ia mengatakan bahwa telah melompat kelas berkali-kali sejak SD, lalu kuliah pun hanya 2,5 tahun saja untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran. Pantas saja ia tanggap sejak pertemuan pertama kami.
Ia membantuku mengumpulkan semua obat-obatan yang aku butuhkan. Bukan hanya antiaritmia dan hipertensi, tapi ia juga mengambil obat diuretik, seakan ia memang tahu itu yang aku butuhkan. Ia cerdas dan tanggap. Aku akui itu. Semua obat yang harus aku minum ia masukkan ke dalam botol-botol obat berkapasitas 20 butir yang akan memudahkanku untuk meminumnya daripada harus menyobek strip obat. Bahkan, ia juga yang mengajarkanku cara menggunakan pasmina yang simpel. Katanya, ibunya sering melakukan itu.
Setelah kondisiku membaik dan aku mampu berdiri, ia membantuku berjalan untuk keluar dari pusat perbelanjaan itu. Awalnya, ia mengajakku melewati pintu darurat. Tapi, aku menyuruhnya lewat pintu depan. Dan benar, kecemasannya tak berarti. Sebab, tak ada zombi yang memyerang kami berdua. Lebih tepatnya, zombi-zombi itu tak menyerang Kak Galaksi karena aku.
"Jadi, X-Gen itu sebutan untuk orang yang punya kekebalan alami terhadap A-Tears. Saat ini, TDC dan BSL-3 di Surabaya lagi cari X-Gen untuk mengembangkan vaksin," jelas Kak Galaksi saat kami sudah keluar dari gedung penuh zombi itu.
Setelah dari pusat perbelanjaan itu, kami pergi ke pedalaman di tengah Jakarta untuk mencari tempat beristirahat, sebab hari mulai gelap, terlalu berbahaya untuk bergerak di malam hari, begitu katanya. Kami pun menemukan sebuah mushola yang telah dikelilingi ilalang dan rumput liar lainnya. Kami beristirahat di sana.
Saat ini, hari sudah malam. Sudah jam 8 malam. Untuk makan malam, ternyata Kak Galaksi memiliki persediaan mi instan cukup banyak di dalam tasnya. Air yang kami pakai untuk menyeduhnya pun kami ambil dari kran wudhu di mushola ini, hanya bisa berharap air itu aman untuk pencernaan kami. Kata Kak Galaksi, sudah pasti air itu terkontaminasi A-Tears, meski belum terbukti dapat menyebabkan manusia berubah.
Kami sudah makan malam, dan kini kami duduk berhadapan dengan tubuh masing-masing terbungkus jaket hangat. Kami tak bisa membuat api unggun di dalam bangunan. Aku mendengarkan semua penjelasan Kak Galaksi, semua informasi yang entah bagaimana ia ketahui.
"Kakak tahu banyak, ya?"
Dia mengangguk, lalu mengambil sebuah buku kecil. Ia memberikannya padaku. "Itu hasil pengamatanku sejauh ini. Semua tertulis jelas tentang cara bertahan hidup di tengah wabah ini. Aku memadukannya dengan informasi yang diberikan pemerintah."
Aku membuka setiap lembarnya. Tulisannya berantakan, beberapa agak luntur, bahkan beberapa lembarnya lengket dan lecek. Semua waktunya telah dicatat dengan sangat baik di sana. Detil sekali semua hasil pengamatannya, meski beberapa ia tulis dengan singkatan dan kode saja. Secara garis besar, aku mengerti.
"Ada tiga jenis zombi," sebutnya tiba-tiba. Aku mengalihkan perhatianku dari buku catatannya pada dirinya. "Tipe I, itu tipe yang kita temuin di mall tadi. Mereka bergerak cepat, senang berkelompok besar, menyukai gelap, marah ketika ada suara dan sinar, dan takut dengan air. Tipe II, lebih cepat dari Tipe I, kelompok kecil berisi 3-5 orang aja, nggak peduli siang-malam, dan nggak takut air. Tipe II ini lebih sulit untuk dilawan, tapi bukannya nggak bisa. Mereka gesit dan lebih kuat dari Tipe I. Dan, Tipe III ini lebih disebut Zombizilla, karena tubuhnya besar, sangat kuat, dan mereka seperti hewan, punya insting untuk bertahan saat kita melawan. Tipe III ini adalah Monster Zombi," jelasnya.
Aku mengangguk. "Kakak pernah ketemu yang Tipe III?"
Dia menggeleng. "Rasio populasi ketiga tipe itu adalah 6:3:1. Itu artinya, langka sekali kita bertemu Tipe III. Jika ada, itu akan jadi bencana," tuturnya. "Kita memang bisa melewati Tipe I karena kamu. Tapi, kita nggak tahu, apa Tipe II dan III juga menganggap kamu sama, atau malah musuh." Ia menatapku serius, juga tersirat kecemasan di netra elangnya. "Yah, semoga aja nggak yang seperti aku khawatirin."
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...