[Author's POV]
Para tentara itu mengantar Nat, Rei, dan Jay sampai dengan selamat di Pusat Komando A-Tears yang ternyata menggunakan bangunan Gedung Manajemen UNAIR yang biasa disebut Rektorat UNAIR. Bangunan unik yang berseberangan dengan sebuah danau buatan dan pepohonan rimbun dengan banyak burung-burung perkutut dan dara yang telah berubah menjadi monster berukuran dua kali lipat normal mereka.
"Permisi," sapa seorang laki-laki bersuara bulat. Atensi Nat, Ray, dan Jay pun teralihkan. Mereka sudah menunggu 15 menit di ruangan yang sejuk ini, dan mereka terlalu nyaman sampai hampir tertidur. "Saya Joko Hartanto, Ketua Komando A-Tears. Saya sudah mendengar penjelasannya dari rekan-rekan lapangan."
Jay berdiri lebih dulu, lantas berjabatan tangan dengan pria berseragam tentara berpangkat tinggi dengan tittle sebagai Master Sains itu. "Saya Jay, dan ini Nat dan Rei," sebutnya.
"Ah, maaf. Apa kalian keluarga?"
Tanpa menanyakan pendapat, Nat menjawab, "Iya," dengan senyum ramah. "Um, maaf, sebumnya, Pak. Tapi, kami terburu-buru, karena sampelnya nggak kami dinginkan."
"Oh, benar, benar," gumamnya. Lantas, Joko memutar kepalanya untuk menatap perempuan berseragam tentara yang datang bersamanya. "Mbak Jeihan, tolong bawa sampelnya ke TDC untuk diperiksa."
"Baik, Pak." Perempuan itu mendekat, lalu mengulurkan tangan saat Nat menyerahkan tas kotak berisi sampel darah milik Alya. Perempuan itu bergegas keluar dari ruangan ini.
"Pemeriksaannya mungkin akan memakan waktu berjam-jam," ujar Joko. "Nanti, akan kami antar kalian ke pengungsian untuk beristirahat dan bebersih. Kalian pasti capek menempuh perjalanan dari Jawa Barat," ungkapnya. "Kalian udah berapa lama melakukan perjalanan?"
"Dua bulanan," jawab Nat. "Kondisi rekan X-Gen kami nggak baik, ia menderita penyakit bawaan. Jadi, kami harus sering beristirahat. Juga, banyak sekali kejadian yang kami temui."
"Ah, perjalanan kalian berat sekali," gumamnya. "Lalu, di mana rekan X-Gen kalian? Kenapa nggak dateng langsung? Kami bisa memberikan pengobatan untuknya. Ah, atau -"
"Oh, nggak, kok," timpal Rei cepat tanggap. "Dia baik-baik aja, dan saat ini sedang pergi mencari markasnya Luciel."
"Hah?! Kalian bercanda, 'kan?!" seru Joko.
Jay menggeleng dan buka suara. "Kebetulan, rekan kami itu temannya Luciel. Memang awalnya nggak tahu kalau Luciel berbuat ulah sampai beberapa minggu lalu. Jadi, kami memutuskan untuk berpencar. Dia pergi menemui Luciel dengan kekasihnya, kami membawa darahnya ke sini," jelasnya.
"Kenapa? Mereka orang-orang berbahaya. Mereka bermaksud -"
"Iya, kami tahu," potong Nat. "Di sini, kami menemukan dua sisi yang membuat orang-orang akan bingung untuk memihak. Vaksin memang untuk kekebalan terhadap A-Tears, dan kalian mau mengembangkan itu. Tapi, Luciel juga punya tujuan baik, yaitu menjadikan manusia tangguh untuk bisa bertarung memberantas zombi. Jika dua sisi ini bisa digabungkan, bukankah akan lebih baik? Begitu pikir rekan kami, dan kami sepakat," jelasnya singkat.
Joko terdiam dan tampak seperti sedang berpikir. "Memang, jika itu tujuan Luciel, maka itu nggak salah. Tapi, kami tetap pada pendirian kami tentang menciptakan vaksin," ujarnya. "Um... Kami akan coba mendiskusikan ini dan jika rekan kalian memberi kabar, tolong beritahu kami."
Jay dan Nat menganggukkan kepala.
Tok! Tok!
"Permisi, Pak," ujar seorang lelaki.
"Oh, Mas Adit. Masuklah." Lalu, laki-laki yang dipanggil Adit itu melangkah masuk ke dalam ruangan. Laki-laki muda berparas manis dengan tubuh kekar berpakaian seragam polisi. "Mas Jay, Mbak Nat, dan Dek Rei, ini Mas Adit yang bertanggungjawab terhadap pengungsian. Kalian bisa ikut Mas Adit. Nanti, kalau hasilnya sudah keluar, kami akan memanggil kalian. Sementara, beristirahatlah dulu. Ini juga hampir jam makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Ciencia FicciónZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...