Kids Member

181 55 12
                                    

Nama anak lelaki itu adalah Reiner Putra, umurnya benar 10 tahun seperti perkiraanku. Untuk ukuran anak laki-laki seumurannya, ia memang lebih tinggi. Semenjak melihat ibunya meninggal di tangan Tante Nat sebelum berubah menjadi zombi, ia menjadi anak yang pendiam dan murung. Namun, saat melihat ibunya meninggal, kata Tante Nat, ia tidak menangis. Aku rasa, ia hanya mencoba untuk tegar seperti pesan ibunya.

Kami tidak memasuki kota yang melarang anak-anak untuk masuk. Kami sedikit memutar jalan ke utara. Kami harus mencari tempat untuk bermalam, karena langit sudah semakin gelap, belum lagi awan mendung mulai menyelimuti. Hujan dan malam sangatlah berbahaya. Jika benar anak-anak mengundang bahaya, maka kami akan jauh lebih dalam bahaya. Oh, aku tidak menyalahkan Rei, toh, aku juga masih anak-anak.

"Ada rumah penduduk," ujarku. Sebelumnya, aku tak melihat itu, sebab sejauh mata memandang hanya hamparan sawah dan kebun di kanan dan kiri. Tapi, semakin jauh kami berjalan, barulah terlihat adanya rumah penduduk. "Apa ada kehidupan, ya? Kalau ada, apa mereka ngizinin kita bermalam?" gumamku.

"Desa itu kosong," sahut Rei tiba-tiba. "Aku dari sana. Semua udah ngungsi ke pabrik tambak itu. Cuma ada zombi di sana, dan satu Zombizilla."

Aku mengangguk. "Berarti aman, lah."

"Hah?" seru Rei sambil menatapku seakan-akan aku orang aneh. "Kakak gila atau gimana?"

Tante Nat terkekeh-kekeh. "Kamu nggak tahu hebatnya Kak Al. Dia yang ngalahin Zombizilla di Karawang," jelasnya, sambil mengusap kepala Rei. "Lagian, lebih baik ketemu zombi daripada ketemu manusia nggak punya hati," tambahnya. Aku bisa merasakan amarah dalam ucapan Tante Nat, meski ia tetap tersenyum.

"Ayo." Kak Galaksi memberi titah.

Menurut cerita Rei, pengungsian di pabrik tambak itu yang membuang Rei dan ibunya, karena ibunya Rei menyelundupkan Rei. Tapi, pada akhirnya mereka ketahuan. Rei juga mengatakan bahwa pengungsian mereka sering didatangi zombi, sehingga cukup banyak makan korban. Dari jumlah ratusan, kini hanya tersisa 60% saja. Penduduk jelas marah saat tahu ibunya Rei menyelundupkan Rei. Dan, mereka diusir tepat saat zombi datang ke tempat mereka. Karena itulah, saat kami menemukan mereka, mereka sedang dikejar zombi.

"Rumahmu masih layak pakai, nggak?" tanya Kak Galaksi pada Rei.

Rei menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia tak lagi membuka mulut. Sepertinya ia masih tak terima dengan keputusan kami untuk masuk ke desa yang dipenuhi zombi.

Saat kami lihat rumah pertama, aku bisa merasakan keberadaan zombi dalam jumlah yang cukup banyak. Well, aku merasa semakin bersemangat untuk sesaat. Kalau saja aku tak bisa mengontrol nafsuku, aku sudah berlari ke kerumunan zombi. Aku harus bisa mengendalikan diri. Aku tak mau berubah menjadi makhluk yang mengerikan, meski kenyataan aku adalah X-Gen pun sudah membuatku menjadi manusia yang mengerikan. Namun, satu hal yang pasti: aku tidak boleh berubah menjadi manusia tanpa hati.

Cukup banyak zombi yang seakan-akan menjaga perbatasan. Kami sempat diam untuk berpikir sejenak. Lalu, Kak Galaksi memiliki ide. Ia mengambil batu besar di dekat kami, kemudian berjalan mendekati beberapa zombi di sana. Lalu, ia melemparkan batu itu ke sungai di kanan kami. Suara batu besar yang jatuh ke air itu menarik perhatian para zombi. Mereka Zombi Tipe I yang bodoh. Mereka dengan hebohnya berlari ke arah suara, menenggelamkan diri di sungai, padahal mereka membenci air. Mereka terlihat seperti ikan yang berebut makanan di permukaan. Mereka bahkan tak mencoba naik ke permukaan. Aku rasa, air itu cukup dalam dan dasarnya berlumpur. Jadi, mereka sulit bergerak.

Kak Galaksi pun menyuruh kami untuk secepatnya bergerak. Kami sedikit berlari untuk segera tiba di rumah Rei yang katanya berada di dekat jalan utama Pantura. Beberapa kali kami bertemu zombi, entah Tipe I atau II. Tapi, kami berhasil mengatasinya. Ya, kami, aku dan Kak Galaksi. Tante Nat yang menjaga Rei.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang