Alya's POV
Setelah Tante Nat dan Rei pergi meninggalkanku, aku masih bertarung dengan mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa. Saking berlebihannya, aku sampai tak sadar apakah aku melakukan semuanya dengan tetap bernapas atau tidak, dengan jantung tetap berdetak atau tidak. Sampai sebelum tenagaku habis dan seluruh kesadaranku hilang, aku berpikir bahwa saat itu aku akan mati. Tapi, ternyata tidak.
Ketika aku membuka mata, aku tidak berada di tempat terakhir yang aku ingat. Aku kira Kak Galaksi dan Jay berhasil menyelamatkanku, tapi saat aku menarik tubuhku untuk duduk, ternyata aku berada di sebuah goa. Ya, goa. Mungkin bukan goa seperti di dalam hutan atau di tengah gunung. Ini lebih seperti terowongan. Aku pun tak paham ini di mana, tapi dilihat dari dindingnya yang merupakan batu dan tanah keras, entah bagaimana otakku memproses bahwa ini sebuah goa. Atau... mungkin ini terowongan bawah tanah yang dulu dipakai pada zaman perang yang dibuat oleh penduduk lokal atas perintah Belanda atau Jepang. Entahlah.
Di tempat ini, aku merasakan jumlah zombi yang sangat banyak, dan bukan hanya Tipe I, tapi juga II dan Zombizilla. Juga, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari zombi-zombi ini. Ia terasa seperti zombi, tapi di saat yang sama ia juga terasa seperti X-Gen. Saat itulah aku sadar bahwa aku ada di sini karena tertarik olehnya. Dan, aku anggap, kekuatannyalah yang membuatku tak bisa merasakan kehadiran zombi saat berada di depan Lawang Sewu.
Sepertinya, aku akan menghadapi sesuatu yang merepotkan.
"Ben je wakker?"
Kepalaku menoleh cepat ke arah suara, sekaligus arah aku merasakan kekuatan yang cukup besar dan membuatku sedikit berdebar-debar. Dari bahasa yang ia gunakan, jelas itu bukan Inggris, bukan juga Indonesia. Dan, saat aku melihat sosoknya, aku pun sadar bahwa ia memang bukan orang Indonesia. Namun, jelasnya ia orang Eropa. Entah apa darahnya, entah bahasa apa yang ia gunakan. Aku bahkan tak tahu ia bertanya apa.
"Maaf, kamu pasti tidak paham ucapanku," ujarnya, kali ini ia menggunakan Bahasa Inggris, meski ada aksen di sana. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya, seraya mendekat dan menyodorkan sebuah gelas aluminium dengan aroma yang membuatku mengerutkan kening. "Minumlah. Kamu akan langsung membaik setelah meminumnya."
Aku menerimanya, meski sebenarnya ragu. Aku tak langsung meminumnya begitu saja. Aku menatap permukaan gelas yang tampak gelap dan kental. Aku mengendusnya, dan secepatnya menjauhkannya dari wajahku. Itu darah. Darah yang lezat dan menggoda, terlihat menyegarkan sekali. Tapi, aku tak mau meminumnya. Aku tak mau kehilangan sisi manusiaku. Jelas itu darah, meski aku tak tahu itu darah manusia atau hewan. Yah, bagiku sama saja. Aku tak mau meminum darah.
"Kamu tidak meminumnya, padahal kamu X-Gen? Itu hanya darah kucing."
Aku memasang wajah terjelekku dan menyerahkan kembali gelas yang kuterima padanya. "Aku masih manusia. Aku tidak meminum darah apapun," ujarku dalam Bahasa Inggris. Well, aku tidak tahu bagaimana aku bisa berbicara selancar itu.
Ia tampak bingung, lalu menerima gelas itu, kemudian menenggak habis darah di gelas itu. Melihatnya saja aku ingin muntah. Setelah menghabiskan dalam sekejap, ia menjilat sisa darah di ujung bibirnya. Aku melihat taring mencuat di balik bibirnya. Meski ia X-Gen, aku tak merasa terancam. Padahal, saat bertemu X-Gen Mesum itu, aku merasa terancam.
"Tapi, tadi aku terpaksa meminumkanmu darah, karena kondisimu terlihat sangat kacau."
Aku meringis geli. Aku menjilat bibirku, masih terasa amis darah di sana. Aku mengusapnya dengan tangan, berharap rasanya akan menghilang. Sudah terlanjur, aku tak bisa protes. Sudah tertelan juga. Mau dimuntahkan pun tak bisa. Tapi, pantas saja aku merasa lebih segar dan aku tak begitu merasa lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...