Conscience

162 45 25
                                    

"PERGI!!"

Begitu seru lelaki yang berada di dalam kantor desa. Meski mati-matian kami memaksa agar ia pergi dengan kami, ia menolak. Hingga akhirnya kami pun memutuskan untuk meninggalkannya di sana, sesuai keinginannya.

"Biarkan saya mati di sini! Pergi!"

Entah apa yang terjadi padanya. Tapi, ketika aku merasakan kembali kehadiran zombi di dalam bangunan itu bersamanya, mungkinkah zombi-zombi itu adalah teman perjalanannya? Apakah ia ingin bunuh diri seperti ini? Yah, terserah. Jelasnya, kami sudah mencoba untuk membantunya.

Kami berdiri beberapa meter dari kantor desa, bersembunyi di balik tembok rumah untuk mengawasi. Hatiku tergelitik, karena aku tidak mau menyia-nyiakan nyawa. Aku saja sudah mati-matian mempertahankan nyawaku yang berkali-kali seperti ingin dicabut seluruhnya. Tapi, karena rasa bersalahnya pada teman-temannya, ia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini. Bukankah ia tidak menghargai temannya kalau seperti ini? Begitu pikirku.

Well, aku juga sempat berpikir untuk bunuh diri seandainya aku melukai Kak Galaksi, Tante Nat, dan Rei karena aku haus darah. Tapi, saat ini aku sadar. Daripada berpikir untuk bunuh diri, lebih baik aku berusaha untuk menjaga mereka tetap hidup, juga berusaha untuk mengendalikan nafsuku terhadap darah mereka. Itu lebih positif.

"Tuh, 'kan!" seru Rei tiba-tiba.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Yang ngundang Zombizilla dan Tipe II itu bukan aku dan Kak Al, tapi scarezombies itu," jelasnya menggebu-gebu, seperti menahan kesal. "Orang-orang salah kalau anak-anak itu ngundang zombi. Buktinya, mereka nggak nyamperin kita. Mereka terpancing sama Tipe I."

Ucapan Rei benar. Aku pun baru saja sadar. Lalu, aku teringat Zombizilla di Karawang. Meski Tipe I seakan melindungiku, Kak Galaksi, dan Tante Nat, tapi mereka tetap tak bisa menghilangkan naluri mereka untuk mengundang yang lebih kuat. Mungkin sistem kehidupan zombi seperti itu. Tipe I yang mencari, Tipe II dan Zombizilla yang mengeksekusi.

"Yaudah, ayo, kita pergi," kata Kak Galaksi.

"Nggak!" seruku. Rasanya jantungku berdebar-debar keras. Gemuruh yang asing, gemuruh yang membuatku merasa takut, cemas, dan marah.

"Ngapain, Al? Dia aja nggak mau ditolong. Jangan buang-buang tenaga," kata Kak Galaksi, tak terima dengan keinginanku sejak awal. "Al, kamu harus sadar, kalau kondisimu nggak baik. Bukan kondisi yang pantas untuk menolongnya. Dan, kamu nggak punya alasan untuk menolong orang, apalagi orang itu nggak mau ditolong."

"Ucapan Galaksi bener, Al," kata Tante Nat lembut.

Aku menunduk, menatap kedua kakiku yang tampak sedikit bengkak. Ucapan Kak Galaksi benar, aku tidak bisa marah. Tapi, aku tidak bisa membohongi naluriku. Aku tidak bisa melawan hati nuraniku. Simpati? Empati? Atau Penyakit Anak Baik? Entahlah. Yang jelas, aku tak bisa diam seperti ini dan membiarkan seseorang mati begitu saja, padahal mungkin ia punya harapan hidup lebih besar dariku. Aku tak bisa membiarkannya.

"Maaf."

Aku pun meninggalkan tasku pada mereka, lalu berlari begitu saja, mengabaikan seruan Kak Galaksi, Tante Nat, bahkan Rei. Anggap aku bodoh atau terlalu baik. Terserah saja, aku tak peduli. Aku tidak mau berubah menjadi manusia egois. Aku tidak mau berubah menjadi X-Gen yang tak punya hati. Aku hanya ingin menjaga hatiku tetap seperti manusia, meski pada akhirnya aku berubah menjadi monster.

Para Zombi Tipe I ternyata dibiarkan menjadi scarecrows, Tipe II dan Zombizilla seakan tidak peduli dengan usaha mereka. Aku menerobos pagar, berlari menyeberangi lapangan gersang, melompat ke teras, dan masuk ke dalam bangunan tersebut melalui pintu yang sudah hancur, mungkin karena Zombizilla yang memiliki kekuatan besar.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang