Distance

162 50 17
                                    

Kami melanjutkan perjalanan dari Blora begitu matahari terbit. Kondisiku belum baik, masih memuntahkan darah kental meski tak sebanyak sebelumnya. Sebenarnya, mereka tak mau aku memaksakan diri, tapi aku tak mungkin menjadi penghambst terus, bukan? Lagipula, terlalu berbahaya jika mereka terus berlama-lama bersamaku dan juga tak kunjung tiba di Surabaya.

Misiku kali ini bukan hanya tiba di Surabaya bersama mereka seperti sebelumnya. Misiku saat ini adalah membawa mereka ke Surabaya, menjadikanku sumber penelitian vaksin, dan memberikan vaksin itu pada mereka. Dan, tak hanya membawa mereka, tapi juga melindungi mereka. Aku sudah tak marah pada mereka, tapi tentu kekecewaan itu masih sedikit ada dan sulit untuk disembuhkan. Namun, bagiku mereka tetap orang-orang berharga. Karena itu, aku akan terus menjamin keselamatan mereka, meski harus berjaga jarak dengan mereka.

Kami masih di Blora, tepatnya di Cepu. Saat ini kami berada di tepi Sungai Bengawan Solo yang sebagiannya membatasi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kami melihat Jembatan Bengawan Solo itu sudah runtuh, runtuh yang mungkin di sengaja. Karena, kami melihat di seberang sana tampak ada kehidupan. Di seberang sana adalah Desa Dengok, Kabupaten Bojonegoro yang terang benderang di sore yang hampir berubah menjadi malam ini.

"Ada jembatan kereta api, tapi juga udah hancur," sebutku. Entah sejak kapan, aku dapat memandang kejauhan dengan sangat jelas. Ada sekitar seratus dan dua ratus lima puluh meter di selatan Jembatan Bengawan Solo ini keberadaan jembatan kereta api itu. Tadi, aku sempat berjalan sebentar ke selatan untuk memeriksa. "Ekhem." Tenggorokanku rasanya kering dan panas. "Tapi, mereka punya kapal. Kalau mau, aku ke sana dan minta mereka menjemput kalian."

"Ke sana?!" seru Tante Nat.

Aku memandangnya bingung. "Nggak mungkin kalian nyebrang kali. Biar aku yang nyebrang." Aku pun melepaskan tas ranselku, sepatuku, dan semua barang-barang yang akan memberatkanku nantinya.

"Emang kamu bisa renang, Al?" tanya Jay, entah kenapa terdengar seperti hinaan.

Aku tak menjawab sampai benar-benar di ujung lereng. "Nggak inget. Mungkin bisa." Aku menggulung celana dan lengan bajuku. "Kalian jangan kemana-mana. Jangan ngapa-ngapain. Aku akan balik kalau ada sesuatu yang berbahaya di deket kalian." Dan, aku pun melompati lereng, lalu mendarat dengan baik di tepi sungai. Aku memandang ke atas, menatap mereka berempat beberapa saat, lalu berjalan menuju air cokelat yang sedikit lebih bening dari sungai-sungai yang kulihat sepanjang perjalanan kami.

Karena ada kapal, aku yakin arusnya tidak kuat. Tapi, aku tahu bahwa bagian tengah mungkin memiliki kedalaman yang berbahaya untukku. Aku berenang secara diagonal untuk menekan arus yang mendorong tubuhku. Sungai terbesar di Pulau Jawa ini dapat diseberangi dengan berenang selama 20 menit untukku. Karena, aku harus beristirahat beberapa kali. Sesak sekali, dan airnya dingin.

Sesampainya di seberang, aku duduk beristirahat sejenak. Aku tidak berhenti batuk sampai darah itu kembali keluar. Tapi, aku juga tak mau membuat cemas mereka berempat, jadi aku bangkit setelah selesai batuk dan beristirahat. Aku pun menemukan tangga yang menjadi akses ke daratan di atas. Aku menaikinya meski tubuhku sudah sangat kelelahan.

Tak ada yang aneh di desa ini. Aku tak merasakan hal berbahaya, tak juga ada zombi atau monster. Tapi, memang penduduknya tak terasa banyak. Padahal, rumah di desa ini cukup banyak. Mungkin sebagian sudah mati, sebagian pergi meninggalkan desa. Yang jelas, desa ini memiliki kehidupan yang terasa... normal.

"Siapa?!"

Aku berhenti berjalan saat seruan itu terdengar, tepat saat aku tiba di perempatan jalan sekitar 150 meter. Aku mengangkat kedua tanganku saat tahu mereka menodongkan senapan dan tombak. Ya, mereka. Terdapat lima lelaki dewasa dengan senjata. Meski tempat ini terasa aman, tapi sepertinya mereka tetap waspada terhadap kehadiran zombi.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang