Thinking About Dead

210 60 3
                                    

Total seminggu aku dan Kak Galaksi melakukan perjalanan bersama, atau 5 hari semenjak pertemuanku dan Kak Galaksi dengan Tante Nat - aku memanggilnya begitu sekarang. Sayangnya, kami masih stuck di Jawa Barat, bahkan mendekati perbatasan dengan Jawa Tengah pun belum. Kami masih berada di Karawang.

Lagi-lagi, akulah penghambatnya.

Semakin ke sini, kami semakin sering berhadapan dengan Zombi Tipe II. Jujur, itu benar-benar melelahkan kami. Persediaan peluru milik Tante Nat semakin menipis, tinggal satu kotak kaliber kecil dan tiga kotak kaliber besar. Bahkan, ia sudah mencoba menghemat selama tiga hari ini dengan hanya menggunakan busur dan anak panah. Setiap malam, Tante Nat pasti akan membuat anak panah dari bahan seadanya, seperti besi, kayu, dan lainnya. Ia bukan hanya keren saat memegang busur atau senapan, tapi juga saat membuat anak panah.

Ah, sepertinya aku mengaguminya.

Saat ini, kami terpaksa sedikit memutar jalan. Niatnya, kami hanya akan berjalan lurus-lurus saja, kalau berbelok pun tak jauh dari arah kami. Tapi, terpaksa. Saat kami berjalan di atas jalan menyeberangi sungai di bawah Jalan Pasar Jati, Karawang, kami dihadang zombi dan terpaksa menjauh. Sebisa mungkin, kami menjauh dari pertarungan melawan zombi. Kami harus irit tenaga dan persediaan amunisi Tante Nat.

Dan, di sinilah kami, San Diego Hills Memmorial Park. Lahan pemakaman yang tampak seperti lokasi wisata yang asri. Tempat yang sepi, luas, dan terbuka sekali. Entah kenapa kami malah datang ke tempat ini. Jujur saja, tempat ini malah membuatku teringat pada kematian yang terus mengejarku. Mati karena penyakitku, atau mati karena X-Gen yang rasanya mulai membuat tubuhku tak nyaman. Ah, atau ini karena penyakitku? Entahlah.

Terdapat sebuah gazebo - entah apa sebutannya - yang lantainya berdebu lengket. Kami memutuskan ke sana untuk beristirahat. Jujur saja, berjalan dari jalur kami seharusnya demi menghindari zombi sampai ke sini butuh waktu 30 menit, karena aku tidak bisa berjalan lebih cepat lagi. Nafasku tercekat di leher.

"Al, minum obat dulu," kata Kak Galaksi saat aku duduk lemas bersandar pada salah satu pilar. "Udah jam 1."

Aku lemas, rasanya malas bergerak. Tapi, akhirnya aku tetap mengambil kotak obat dari saku kecil backpack-ku yang sudah kusam. Aku menatap lama kotak obatku yang berisikan butir-butir penunjang hidupku. Sepertinya aku terlalu lelah, sampai aku memikirkan kematian sejak memasuki tempat ini.

"Al?" panggil Tante Nat khawatir.

Aku menghela napas berat, lalu membuka kotak obat itu dan mengambil butiran yang harus aku minum siang ini. "Nggak kerasa udah seminggu," gumamku sebelum menelan butiran yang akan memberiku kesempatan hidup lebih lama.

Tante Nat membelai kepalaku hangat. Ia memiliki sifat keibuan dan dewasa sekali. "Kamu nggak inget apa-apa lagi?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Mungkin aku kepisah sama Ayah," ujarku. "Aku kayak denger ada yang manggil namaku, nyuruh aku pergi dan jangan nengok ke belakang. Itu kayaknya Ayah, tapi nggak tahu juga. Aku sempet mikir, jangan-jangan Ayah udah tewas karna ngelindungin aku. Tapi, feeling-ku Ayah masih hidup dan ada di Surabaya."

"Kami juga nggak bisa janjiin apa-apa, tapi kami akan bantuin kamu ketemu sama ayahmu," ujar Tante Nat. "Makanya, kamu harus terus berjuang, ya. Perjalanan kita emang masih jauh, tapi kamu harus semangat." Ia tersenyum lembut dan hangat.

Aku mengangguk. Tanpa ia katakan, aku memang berjuang untuk terus hidup. Bukan hanya karna Ayah, tapi juga karena darahku, darah X-Gen. Aku memang yakin bahwa X-Gen bukan hanya aku di dunia ini, terutama Indonesia. Tapi, tak menutup kemungkinan bahwa mereka tak berhasil bertahan hidup sampai pemerintah datang menjemput mereka dan membawa mereka untuk mengembangkan vaksin.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang