[Nat's POV]
Hanya semalam, kami langsung memahami situasi di pemukiman ini. Padahal suasananya terasa nyaman dan tentram, seperti tak pernah ada yang namanya A-Tears. Orang-orang hidup damai dan tentram bersama-sama, akur, dan saling bantu-membantu. Benar-benar terasa seperti tempat idaman di tengah situasi saat ini. Hingga akhirnya kami menyadari satu hal. Tidak semua pengungsi mempercayai pemerintah.
Pengungsian dibagi menjadi dua bangunan, yaitu bangunan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Sains dan Teknologi. Dan, masing-masing fakultas ternyata mewakili komunitas pro dan kontra terhadap pemerintah. Sehingga, kami memutuskan untuk membagi tugas dan mencaritahu apa yang terjadi. Sebab, awalnya kami berpikir semua masyarakat yang berkumpul di sini memang berada di pihak pemerintah. Tapi, ternyata pihak kontra pun berada di sini untuk mengambil keuntungan berupa bantuan dari pemerintah.
Setelah Jay pergi ke FST untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat yang kontra, kami berkumpul untuk makan siang di taman FKM, memilih menjauh dari yang lainnya. Di FKM ini adalah kelompok masyarakat yang pro terhadap pemerintah. Kami tidak mau mereka mendengar apa yang berhasil Jay kumpulkan yang mungkin akan membuat mereka marah dan kami malah membuat keributan.
"Jadi, Monochrome?"
Jay mengangguk, menjawab yang kutanyakan. "Mereka kayaknya memang nggak mau bikin vaksin. Mereka malah bikin obat untuk membuat pasukan yang bisa memberantas zombie dengan kekuatan setara zombi. Bukan X-Gen juga, tapi."
"Lah? Itu sama kayak ngebunuh manusia, dong?" ujar Rei, terdengar kesal.
"Iya, aku juga mikirnya gitu," tanggap Jay setuju. "Itu artinya, darahnya Alya nggak dipakai sebagaimana mestinya. Atau, mungkin mereka malah menemukan hal lain dari darah Alya."
"Iya. Ini soal kromosom, 'kan. Kalau mereka nggak paham itu, mungkin ini yang mereka temuin dan malah ubah haluan bukan buay vaksin," tambahku. "Tapi, gimana cara kita bisa ngasih tahu Alya dan Galaksi? Besar kemungkinan, kita nggak dibolehin pergi. Apalagi, kita nggak tahu lokasi markas Luciel di mana."
"Ada pihak kontra yang tahu di mana markas Luciel," jawab Jay.
"Hah? Di mana?" tanyaku cepat.
"Kampus A dan Soetomo," jawab Jay.
Aku tercengang. "Aku tetep nggak tahu itu di mana," gumamku. "Tapi, kita harus kasih tahu ini ke mereka. Kita harus ngomongin pihak siapa yang harus kita dukung."
"Semua wilayah sini dijaga ketat, susah untuk menyelinap keluar, bahkan meski malam hari. Mengandalkan keberuntungan juga kayaknya beresiko," jawab Jay. "Pihak kontra pernah terbunuh ketika mencoba keluar dari sini. Teganya, pihak pemerintah bilang kalau orang itu terinfeksi."
Rei menghela napas keras. "Terus, sekarang gimana?" tanyanya. Ia sepertinya kesal. Yah, semakin ke sini emosinya semakin sulit dikendalikan. Ia menjadi lebih pemarah dan tak sabaran. Mungkin, itu karena dia gelisah. "Nungguin Kak Al dan Kak Gal ke sini, gitu?"
"Iya," jawab Jay, seraya mengusap puncak kepala Rei. "Mereka pasti ke sini. Luciel pasti tahu situasi pemerintah, dan mereka pasti ke sini untuk kasih tahu kita. Dan, yang bisa kita lakuin saat ini adalah ngumpulin informasi dan bersiap-siap untuk membantu."
Rei mengangguk.
Memang, saat ini hanya itu yang bisa kami lakukan saat ini. Kalau kami mau melawan, juga tak mungkin. Kami bisa saja menyebabkan perpecahan masyarakat di sini. Perseteruan mungkin terjadi, dan itu sangat tidak baik. Kami memang memiliki keberuntungan, tapi bukan berarti kami bisa bertindah ceroboh.
"Hei! Katanya ada X-Gen yang masuk sini!"
Aku mengangkat kepala dan menatap ke arah seorang laki-laki yang datang dengan langkah cepat. Beberapa orang bergegas mengerumuninya, menanyakan banyak hal hingga aku akhirnya menatal Jay dan Rei. Saat itu juga, kami tahu siapa yang dibicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Ficção CientíficaZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...