Aku tidak berhenti menangis selama hampir sepuluh menit. Aku merasakan takut dan marah secara bersamaan, tapi anehnya aku malah menangis, tidak bisa marah yang membabi-buta. Karena itu, aku mulai sesak nafas dan tangisku terhenti, meski masih terisak-isak dan aku mulai merasa pusing dan lemas.
Orang yang sepertinya punya jabatan tinggi yang tadi pergi untuk melapor dengan orang dalam pun kembali setelah lima menit kondisiku membaik. Mereka mengizinkanku dan Kak Galaksi untuk masuk, tapi kami dikawal dengan sangat siaga, seakan kami berbahaya. Dua orang menatap kami tajam, sampai rasanya punggungku bisa berlubang.
Kami digiring ke sebuah bangunan panjang dan tinggi di sebelah kanan, tepat setelah kami melewati gerbang. Kami berjalan melewati bangunan panjang itu sampai bertemu pertigaan, dan kami berbelok ke kiri. Kami masuk ke sebuah gedung dengan tulisan Tropical Diseases Center. Kami berjalan di koridor kiri, lalu keluar dari bangunan itu dan menyeberang jalan yang teduh untuk masuk ke bangunan dengan tulisan BSL-3. Kami seperti diajak berjalan memutar, seakan berjaga-jaga agar kami tak tahu jalan melarikan diri.
Saat kedua tentara itu membukakan pintu kaca BSL-3, lalu mempersilahkan kami masuk, mereka menutup kembali pintu itu dari luar dan meninggalkan kami. Aku menatap pintu itu, lalu menatap Kak Galaksi. Kami tidak takut bahkan meski bangunan ini berisi ratusan zombi. Tapi, tentu saja aku - dan Kak Galaksi juga pastinya - merasa kesal karena perlakuan mereka ini.
"Resek banget!" seruku.
Kak Galaksi merangkulku dari samping. "Nggak pa-pa, lah. Di sini pasti ada yang bisa kita temukan," ujarnya yakin. Dan, tentu aku percaya padanya. Ia punya keberuntungan, dan aku mengandalkan itu. "Kamu ngerasain apa di sini?"
Aku diam sejenak, melihat berkeliling. "Ada, sih, zombi. Tapi nggak yang berbahaya atau gimana-gimana. Lemah, tapi jumlahnya lumayan. Belasan atau dua puluhan. Dan, ada manusia juga." Aku mendongak. "Di atas tapi," tambahku. "Ke sana?" Kali ini, aku menatap Kak Galaksi.
Kak Galaksi mengangguk. "Yuk."
Tapi, saat kami baru saja berjalan beberapa langkah, sejumlah orang dengan pakaian astronot menghadang kami, tiga orang tepatnya. Aku dan Kak Galaksi tidak melawan, tak mau juga mencari masalah selama mereka tak melakukan hal yang menyebalkan. Tanpa kata, hanya isyarat. Aku dan Kak Galaksi mengikuti mereka melewati pintu menuju tangga yang akan membawa kami ke bawah, bukan atas.
"Kalian mau bawa kami ke tempat kalian mengurung percobaan gagal kalian?" tanyaku. Suaraku menggaung di lorong tertutup ini.
Tak ada jawaban dari mereka. Aku pun menghela napas, rasanya tak bisa mengandalkan mereka saat ini. Aku tak mau memaksa.
"Kayaknya, sih, iya." Malah Kak Galaksi yang menyahuti pertanyaanku.
Kami tiba di ujung tangga, dihadapkan dengan sebuah pintu baja tebal seperti pintu untuk menyimpan harta kekayaan. Mereka membukanya dengan menggunakan pindai kartu dan kombinasi angka, pintu terbuka dengan tekanan hidrolik, lalu kami pun masuk.
Lagi-lagi tanpa kata. Mereka menyuruh Kak Galaksi pergi ke ruangan sebelah, ruang steril. Aku pun terpaksa menunggu selama hampir 5 menit, lalu Kak Galaksi kembali dengan sudah berpakaian astronot. Wajahnya terlihat buruk, sepertinya ia tak suka memakai pakaian berat dan merepotkan itu. Yah, saat ini aku bersyukur diriku X-Gen.
Kami kembali berjalan di lorong yang terang benderang setelah kembali melewati ruang steril berupa udara panas bertekanan. Ternyata, di bawah tanah ini ruangannya terang benderang, sampai rasanya seperti berada di dimensi lain. Udaranya pun dingin, tapi tidak terlalu dingin. Sepertinya nyaman tinggal di sini.
Mereka membawa kami masuk ke sebuah ruangan yang terlihat bagian dalamnya dari kaca transparan besar. Hanya aku dan Kak Galaksi yang masuk, sementara mereka meninggalkan kami entah kemana. Kami dihadapkan dengan satu-satunya orang di dalam laboratorium itu, seorang perempuan dengan wajah khas Asia, entah Cina, Jepang, Korea, atau sekitarnya. Wajahnya tetap terlihat segar, padahal aku yakin ia tertekan dengan pekerjaannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...